Kolusi Pengusaha-Penguasa Harus Diputus
Pemberantasan korupsi di Indonesia harus difokuskan pada kolusi antara pejabat publik/penguasa dan pengusaha. Korupsi jenis ini bisa melumpuhkan dan menyandera negara dalam petualangan penguasa-pengusaha atau diistilahkan menjadi penguasaha.
Hal ini diungkapkan Christianto Wibisono, pendiri Global Nexus Institute yang pernah memimpin Pusat Data Bisnis Indonesia, seusai bertemu dengan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Senin (2/7).
Direktur Eksekutif Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Robertus Robert mengingatkan, keberadaan KPK telah membuat batas ukuran.
Dengan KPK akhirnya pejabat negara yang melakukan korupsi bisa dihukum dan pejabat jadi tidak bisa semena-mena. Sebelumnya tidak pernah bisa, kata Robert.
Akibatnya, urai Robert, tindakan KPK itu menggentarkan banyak pihak, khususnya kelompok politico-econo bureaucrats. Kelompok ini banyak di partai-partai politik, terutama Golkar. Jadi, tidak heran kalau Golkar ingin merevisi UU KPK karena untuk menyelamatkan kelompok politico-econo bureaucrats ini, kata Robert.
Christianto mengatakan, di dalam demokrasi mapan seperti di AS, kolusi pengusaha-penguasa ini relatif bisa diatasi ketimbang negara transisional seperti Indonesia. Sekarang fenomena pengusaha masuk ke politik banyak, akibatnya terjadi dwifungsi pengusaha-penguasa. Tidak jelas kapan dia berhenti jadi pengusaha, lalu menjadi penguasa, kata Christianto.
Dia menyarankan perlunya tiga UU, yaitu UU Konflik Kepentingan, UU Amnesti, dan UU Pembuktian Terbalik. Selain itu, dibentuk lembaga blind trust independent yang menangani portofolio bisnis pengusaha yang jadi penguasa.
Dicontohkannya, para Presiden AS telah memberikan kuasa kepada blind trust independent untuk mengelola portofolio bisnis mereka. Gaji Presiden AS 400.000 dollar AS, maka kalau ia punya kekayaan lebih dari itu, bisa dipersoalkan, ungkap Christianto. (VIN)
Sumber: Kompas, 3 Juli 2007