Kombes Irman Mengaku tidak Tahu Paspor Adrian Hilang
Kombes Irman Santosa, Kepala Unit II Perbankan dan Money Laundering Badan Reserse Kriminal Polri, mengaku tidak tahu dengan hilangnya paspor Adrian Herling Waworuntu, terdakwa kasus pembobolan BNI Kebayoran Baru senilai Rp1,3 triliun.
Kenapa saya dituduh demikian, saya sungguh tidak mengerti, kata Irman yang sebelumnya selalu menolak berkomentar ketika ditemui dan baru mau menjawab telepon Media setelah puluhan kali ditelepon, kemarin.
Menurut Irman, keberadaan dia bersama anggota polisi lainnya dalam memburu Adrian ke Amerika Serikat atas perintah atasan. Saya tidak berangkat sendiri, tetapi atas perintah atasan, setiap detail perkembangan juga saya laporkan kepada atasan dan saya mintakan persetujuan kepada atasan. Saya selalu minta izin kepada atasan dalam setiap tindakan saya, apakah diperbolehkan atau tidak, jelasnya.
Irman menceritakan perburuan Adrian di luar negeri dimulai pada 13 Oktober 2004 setelah Ismoko meminta dia mempersiapkan surat-surat keberangkatan ke Amerika Serikat setelah ada informasi agen FBI yaitu Bud Spencer, bahwa Adrian ada di Kalifornia.
Ketika di sana, Spencer membenarkan Adrian di Kalifornia tetapi menyatakan pemerintah AS tidak bisa membantu karena Adrian bukan tersangka teroris dan narkoba, jelasnya.
Irman mengaku tim Polri hampir putus asa karena secara teknis Adrian tidak bisa dibawa ke Indonesia dengan pernyataan FBI tersebut. Di saat itulah kita teringat dengan pelajaran negosiasi bahwa untuk menyelesaikan masalah bisa dilakukan dengan negosiasi. Kenapa kita tidak melakukan negosiasi dengan Adrian agar bersedia pulang, tuturnya.
Namun, untuk menghubungi Adrian, ungkap Irman, juga tidak bisa dilakukan karena tim Polri tidak memiliki kontak dengan Adrian. Akhirnya ditemukan solusi dengan menghubungi Jakarta untuk mencari tahu apakah ada orang yang kenal dekat dengan Adrian yang bisa menghubungkan tim Polri dengan Adrian dan orang itu ditemukan, tambahnya.
Adrian lewat penghubung itu kemudian mengajukan tiga permintaan yaitu wartawan tidak boleh ada yang tahu dia di luar negeri, tidak mau istilah ditangkap melainkan menyerahkan diri dan ketiga, paspor tidak dipermasalahkan. Permintaan Adrian ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri di Jakarta dan disetujui.
Namun, Adrian kembali mengajukan persyaratan yaitu menginap dulu di Singapura tanggal 20 Oktober 2004 karena terdakwa kasus BNI ini ingin kembali ke Indonesia usai pelantikan presiden baru. Ini juga kita laporkan kepada atasan di Jakarta dan kita diperintahkan mengusahakan secepatnya Adrian dibawa pulang bagaimanapun caranya, lanjut Irman.
Ketika di Singapura dan bertemu di Bandara Changi, Tim Polri terus mengawasi Adrian. Namun, pengawasan tidak bisa dilakukan secara ketat mengingat ini negara lain. Sedikit saja kita melakukan kesalahan misalnya menegur Adrian dan Adrian berteriak, kita bisa ditangkap polisi sana. Risikonya sangat besar karena bisa menyangkut urusan antarnegara. Jadi, kita sangat hati-hati, katanya.
Lebih lanjut Irman menyatakan Tim Polri dan Adrian kemudian menumpang pesawat Silk Air MI 232 menuju Medan. Di pesawat ini, Irman juga mengaku tidak bisa berbuat banyak karena pesawat tersebut milik penerbangan asing.
Begitu turun dari tangga pesawat di Medan, kami langsung dibawa tim Polri yang lain dengan menggunakan bus. Kami sendiri belum sempat menyentuh Adrian, tetapi kenapa kami yang dituduh, tuturnya. (Fud/J-2)
Sumber: Media Indonesia, 21 Februari 2005