Kombespol Irman Dituntut 4 Tahun
Kombespol Irman Sentosa tampak tenang ketika kemarin jaksa menuntut hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara. Mantan Kanit Perbankan dan Pencucian Uang Bareskrim Mabes Polri itu diseret ke pengadilan karena didakwa menerima uang saat menyidik kasus L/C (letter of credits) fiktif Bank BNI sebesar Rp 1,3 triliun.
Menurut JPU Joko Widodo dan MIF Sihite, Irman terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menerima hadiah berupa uang terkait kewenangannya sebagai penyidik di Mabes Polri. Perbuatannya itu dianggap memenuhi dakwaan pasal 11 UU No 20/2001 tentang Perubahan UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
Widodo mengemukakan pertimbangan yang memberatkan Irman. Yakni, Irman seharusnya tidak menerima uang dari pihak mana pun yang beperkara. Selain itu, sebagai aparat pemerintah, terdakwa telah melanggar UU dan moralitas karena tindakannya tersebut (menerima suap) tidak sesuai dengan upaya hukum pemerintah dalam memberantas korupsi, jelas jaksa senior itu.
Hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan dalam persidangan. Selain itu, terdakwa belum pernah terkait masalah hukum.
Posisi Irman memang benar-benar terjepit. Dalam surat tuntutan, Widodo membeber sejumlah barang bukti yang menguatkan dakwaan bahwa Irman menerima uang dari sejumlah orang yang terkait kasus pembobolan Bank BNI. Mereka adalah Dicky Iskandar Dinata (bos PT Brocolin yang kini terdakwa kasus L/C Bank BNI), Tri Kuntoro (Kadiv Hukum BNI, kini ditahan terkait kasus L/C Bank BNI), Ato Tenges (perantara penjualan aset tanah milik Grup Gramarindo di Jakarta Utara), Jeffry Baso (bos Grup Gramarindo, kini menjadi terdakwa kasus L/C Bank BNI), dan Suharna (direktur PT Brocolin yang menggantikan posisi Dicky). Aliran dana didasarkan pada sejumlah bukti yang kami lampirkan, jelas Widodo.
Barang bukti itu, antara lain, print out atas nama Irman periode November 2003 hingga Januari 2005 atas rekening miliknya bernomor 6770093170. Print out tersebut terkait aliran uang dari Ato Tenges Rp 1,076 miliar (12 Agustus 2004), Ato Tenges Rp 50,250 juta (30 Agustus 2004), Jeffry Baso Rp 250 juta (9 September 2004), Jeffry Baso Rp 50 juta (17 September 2004), dan Jeffry Baso Rp 75 juta (6 November 2004).
Barang bukti lain adalah slip warkat Bank Permata senilai Rp 2,6 miliar pada 22 Desember 2003. Print out rekening BCA Irman Sentosa periode November 2003 hingga Januari 2005. Selain itu, traveller cheque Bank Mandiri dengan seri FA 135041 hingga FA 135050 senilai masing-masing Rp 25 juta. Yang terakhir adalah 1 lembar traveller chaque bernomor FA 135057 yang dicairkan istri Irman, Sariyani Sato, pada 2 Desember 2003 di Bank Mandiri cabang Medan.
Dalam surat tuntutan juga dibeberkan, selama penanganan kasus pembobolan Bank BNI mulai 20 Desember hingga 6 Maret 2004, Irman secara berturut-turut menerima uang dalam bentuk rupiah dan dolar Amerika sebesar Rp 15,5 miliar. Uang tersebut digunakan untuk memperlancar pemeriksaan tersangka Adrian Herling Waworuntu dkk di Bareskrim Mabes Polri. Irman menerima sendiri uang tersebut, kata Widodo.
Menurut Widodo, Dicky Iskandar Dinata menyerahkan uang USD 30 ribu kepada penyidik dengan persetujuan mengubah daftar aset perusahaannya, yakni PT Brocolin, yang juga menerima aliran dana pembobolan BNI. Aset tersebut adalah PT Perkebunan Landogi (aset senilai Rp 27 miliar), PT Hasfarm Utama Estate (Rp 12 miliar), dan PT Mangkuradjo (Rp 12 miliar). Adrian sempat berjanji, jika tiga aset tersebut berhasil dijual, hasilnya akan diserahkan ke Irman.
Selain itu, Dicky diminta Adrian menyerahkan uang USD 350 ribu kepada Irman selaku penyidik. Ini dengan harapan aliran dana PT Gramarindo kepada PT Magna Agung Rp 24,5 miliar tidak diungkap penyidik, jelas Widodo. Serah terima uang dolar yang dimasukkan bekas kotak handphone itu dilakukan di sebuah kafe di Kemang, Jakarta Selatan.
Dia juga mengungkapkan bahwa pada Maret 2004, Irman disangka merekayasa penjualan aset tanah PT Sagared Team di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Irman menyarankan agar aset tersebut dijual karena BNI dalam recovery ingin uang tunai. Selain itu, Irman menyarankan harga tanah dibuat dua kali lipat dari harga yang ditentukan BNI, jelasnya. Uang penjualan aset senilai Rp 1,45 miliar ternyata disetor Irman ke BNI hanya Rp 1 miliar.
Usai persidangan, Irman sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan wartawan soal tuntutan tersebut. Dia meminta wartawan menunggu pembacaan pleidoi pada 15 Juli mendatang. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 9 Juni 2006