Komisi III Tidak Puas; Hadi Purnomo Jelaskan Kasus Pajak Paulus Tumewu
Mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hadi Purnomo di Jakarta, Kamis (29/4), banyak menjawab tak ingat saat memberikan keterangan di hadapan Panitia Kerja Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Hadi ditanya tentang dugaan kasus pajak terkait Paulus Tumewu.
Akibatnya, sejumlah anggota Panitia Kerja (Panja) Komisi III menyatakan tidak puas dengan penjelasan Hadi yang kini Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Sebab, Panja gagal membuka pintu kasus pajak Paulus Tumewu, Komisaris Utama PT Ramayana Lestari Sentosa tahun 2005.
”Aneh, hari ini Pak Hadi tidak lugas seperti biasanya. Ia terlihat gamang,” ujar Bambang Soesatyo, anggota Fraksi Partai Golkar (F-PG).
Syarifuddin Sudding, anggota Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), menambahkan, ”Banyak hal yang seharusnya diketahui Pak Hadi, tetapi dijawab tidak tahu. Saya kecewa.”
Dalam keterangannya selama sekitar 100 menit, Hadi yang menjabat Dirjen Pajak pada 12 Februari 2001-27 April 2006 menyatakan, pegawai pajak mudah mengetahui jika wajib pajak tidak mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dengan benar. Ditjen Pajak mempunyai alat pembanding.
Atas penjelasan ini, Bambang mengatakan, September 2005, Polri mengatakan, Tumewu ditahan karena hasil penyidikan Ditjen Pajak diduga sengaja tidak mengisi SPT dengan benar hingga negara dirugikan Rp 399 miliar. Namun, kasus itu tidak dibawa ke persidangan meski kejaksaan menyatakan berkas perkaranya lengkap, siap disidangkan. Alasannya, karena menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Tumewu telah membayar pajak sebesar Rp 7,9 miliar. Padahal, yang harus dibayar Rp 399 miliar ditambah 400 persen dari nilai pajak itu atau sekitar Rp 1,6 triliun.
Hadi menjawab tidak ingat perhitungan pajak Tumewu. Hal itu bisa dilihat pada laporan kejadian (LK) kasusnya dan berkas penyidikan yang dibawa ke aparat hukum.
Mendengar ini, Bambang menambahkan, ”Di LK 6 September 2005, Tumewu diduga melanggar dengan sengaja tidak melaporkan pajak sejak tahun 2004 hingga merugikan negara Rp 80,8 miliar. Setelah itu, 16 November 2005, tersangka dan barang bukti dikirimkan ke Kejaksaan Tinggi DKI melalui Badan Reserse Kriminal Polri dan kemudian berkas dinyatakan lengkap. Namun, kerugian negara turun menjadi Rp 7,9 miliar.”
Hadi menyatakan hanya mengetahui masalah teknis pajak dan bukan hukum. (nwo)
Sumber: Kompas, 30 April 2010