Komisi VIII DPR (20/6/04)
Kasus yang menimpa badan legislatif mencuat lagi di media masa. Kali ini menyangkut Komisi VIII DPR. Diberitakan, rombongan dari Komisi VIII berkunjung ke Hong Kong dalam perjalanan menuju Seoul, Korea Selatan. Pimpinan DPR mengatakan bahwa kunjungan itu sepengetahuan mereka, sedangkan pihak Komisi VIII sendiri mengatakan bahwa pembiayaan diambil dari anggaran DPR.
Sementara itu terdapat bukti yang cukup bahwa perjalanan ke Seoul itu dibiayai oleh Pertamina. Berhadapan dengan bukti itu pihak Komisi VIII berkilah bahwa pinjaman itu nantinya akan diganti.
Para anggota DPR itu jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan untuk mendengar penjelasan pihak perwakilan Pertamina di Hong Kong dan sebuah perusahaan swasta di Seoul dalam rangka penjualan tanker milik Pertamina. Jika memang benar bahwa perjalanan Komisi VIII DPR itu dibiayai Pertamina maka Pertamina sebagai pihak sponsor tentu mempunyai maksud tertentu. Paling sedikit penjualan tanker itu dianggap telah memenuhi prosedur.
Komisi VIII, meminjam istilah yang popular, dientertaint oleh Pertamina. Padahal, dana yang dikeluarkan oleh Pertamina itu sesungguhnya dana milik negara yang tak dapat dikeluarkan begitu saja, apalagi dengan maksud-maksud entertainment. Tanpa dientertaint pun seharusnya pihak DPR mengawasi penjualan aset nasional yang mempunyai nilai jual tertentu. Persoalannya, apakah pengawasan itu harus dilakukan sampai ke Seoul?
Pola hubungan pemerintah-DPR seperti ini tak dapat dibenarkan. Karena anggota DPR telah menerima uang kehormatan dan tunjangan yang begitu besar dan sejumlah fasilitas untuk menopang agar mereka dapat menjalankan fungsinya.
Praktik seperti perjalanan Komisi VIII sebenarnya banyak terjadi di era reformasi. Tentu hal ini jauh berbeda dengan DPR di masa Orde Baru di mana sama sekali tidak dikenal sponsorship untuk kegiatan DPR. Praktik seperti ini terjadi karena sistem politik yang berlaku memberi kekuatan besar kepada fraksi-fraksi. Presiden dipilih oleh fraksi-fraksi MPR. Eksekutif cukup gentar berhadapan dengan fraksi-fraksi DPR.
Setara dengan diadakannya pemilihan presiden (pilpres) maka kekuatan fraksi-fraksi di DPR dalam berhadapan dengan pemerintah tidak lagi sekuat dulu. Kekuatan pemerintah ada pada rakyat, bukan pada fraksi-fraksi sehingga hubungan kesetaraan antara pemerintah dengan DPR dapat diwujudkan kembali.
Hubungan yang setara itu berarti pemerintah tak dapat menekan DPR dan DPR pun tak dapat menekan pemerintah. Bila pemerintah di bawah tekanan DPR, maka dengan mudah komisi-komisi di DPR meminta sponsorship ''jalan-jalan'' ke luar negeri seperti yang terjadi selama ini. Tanpa disadari pemerintah dan DPR telah mempraktikkan suap-menyuap. Ini tidak sehat bagi kehidupan kenegaraan yang tengah berjuang untuk bangkit dari kemerosotan ekonomi.
Amat disayangkan, kampanye pilpres tidak menyentuh persoalan hubungan pemerintah-DPR, calon presiden (capres) lebih asyik meninjau pasar. Dalam waktu kampanye yang masih tersisa ada baiknya capres mulai mengutarakan program politik kenegaraannya secara rinci.
Tema-tema yang dilontarkan terlalu umum, misalnya berantas korupsi, otonomi daerah, dan tegakkan demokrasi. Pemberantasan korupsi dan pelaksanaan otonomi daerah berkaitan dengan proses demokratisasi. Kita telah memiliki aparatur yang lengkap untuk memberantas korupsi, yang belum ditegakkan sistemnya.
Dengan adanya pilpres yang bersifat langsung maka kedudukan pemerintah cukup kuat sehingga badan legislatif tak dapat melakukan blackmail, sebaliknya badan legislatif dapat melakukan pengawasan yang benar terhadap eksekutif dan melakukan fungsi legal drafting, penyusunan undang-undang, secara lebih profesional.
Capres harus dapat meyakinkan pemilih bahwa mereka hendak menegakkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai politik (parpol). Sebagai konsekuensi dari pilpres, seluruh kepala daerah harus dipilih langsung, dan begitu juga proses rekrutmen badan legislatif kelak. Komitmen ini yang tidak kita dengar dari capres mana pun.
Dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak ada jaminan bahwa korupsi dapat tuntas diberantas tanpa ditunjang oleh sistem politik yang memadai. Walau tekad KPK memeriksa direksi Pertamina dalam kasus Komisi VIII patut dipuji, namun penyelidikan tidak cukup sampai di situ. Seluruh pimpinan dan anggota DPR yang terlibat dalam kasus itu harus diperiksa.
Jabatan sebagai anggota DPR membawa kehormatan kepada yang menyandangnya. Ini tidak boleh dicederai agar harapan rakyat akan perbaikan negeri ini tidak padam.*
Oleh: Ridwan Saidi
sumber: Suara pembaruan