Komitmen MA Diragukan; Banyak Vonis Bebas untuk Kasus Korupsi
Upaya Mahkamah Agung untuk mereformasi diri, sedikit banyak, mendapat apresiasi positif dari sejumlah kalangan. Meskipun demikian, beberapa pihak masih mempertanyakan komitmen MA terhadap upaya pemberantasan korupsi dan pembalakan liar.
Keraguan ini muncul terkait tingginya persentasi vonis bebas terhadap dua perkara tersebut.
Tingginya persentase vonis bebas ini terungkap dalam Laporan Tahunan MA 2008 yang disampaikan Ketua MA Harifin Andi Tumpa, Rabu (1/4). Khusus untuk perkara pidana khusus (pembalakan liar, korupsi, narkotika, atau perlindungan anak), vonis bebas yang dijatuhkan MA masih sekitar 27,39 persen.
Untuk perkara korupsi yang diputus MA sepanjang 2008, sekitar 32,1 persen atau 66 dari 205 perkara diputus bebas. Vonis kurang dari satu tahun terdapat 5,8 persen (12 perkara), vonis antara satu hingga dua tahun mencapai 29,26 persen (101 perkara).
Vonis bebas juga masih tampak menonjol pada perkara pembalakan liar. Dari 92 perkara yang ditangani MA tahun lalu, sebanyak 36 perkara atau sekitar 29,1 persen diputus bebas. Sebanyak 24 perkara atau 26,08 persen divonis kurang dari satu tahun, sedangkan 19 perkara atau 20,6 persen divonis antara satu hingga dua tahun.
Peneliti hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, menilai tingginya persentase vonis bebas disebabkan oleh belum berubahnya pola pikir hakim terkait dengan gerakan pemberantasan korupsi.
”Mengapa MA tidak menjadikan hal tersebut sebagai prioritas perbaikan. Tentu hal ini menjadikan MA masih dilihat tidak cukup baik oleh publik. MA masih gagal dalam membangun semangat pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Sementara itu, praktisi hukum senior, Todung Mulya Lubis, menilai bahwa dalam beberapa hal perbaikan yang dilakukan MA cukup menggembirakan. Namun, perbaikan itu memang baru sebatas manajemen pengadilan seperti terkait biaya perkara, akses informasi, dan menurunnya tunggakan perkara.
Seperti disampaikan oleh Harifin, sepanjang 2008 MA berhasil mengikis tumpukan perkara hingga 13.885 perkara. Saat ini perkara yang masih berjalan sebanyak 8.280 perkara. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan pada 2004 yang mencapai 20.314 perkara.
Ke depan, Todung mengusulkan MA lebih membuka diri dalam hal perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat.
”Kalau tidak memungkinkan sidang terbuka, ya pembacaan putusannya bisa dilakukan terbuka,” ujar Todung.
Sementara itu, anggota Komisi Yudisial, Soekotjo Soeparto, berharap agar Ketua MA lebih memerhatikan kasus pemberantasan korupsi dan illegal logging. Ia berharap ada perbaikan di bidang tersebut. (ana)
Sumber: Kompas, 2 April 2009