Komposisi Hakim "Ad Hoc" Jangan Diserahkan ke MA
engadilan Tipikor
Menyerahkan penentuan jumlah dan komposisi hakim (ad hoc dan karier) pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ke tangan seorang ketua pengadilan negeri dan Ketua Mahkamah Agung sama saja menyerahkan penanganan kasus korupsi kepada tangan-tangan yang koruptif.
Hal itu justru membahayakan gerakan pemberantasan korupsi secara keseluruhan dan menyebabkan terjadinya pembusukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Demikian rangkuman pendapat sejumlah kalangan, di antaranya Prof Romli Atmasasmita (guru besar Universitas Padjadjaran), Denny Indrayana (Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada), Febri Diansyah dari Indonesia Corruption Watch, Firmansyah Arifin dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, dan praktisi hukum Abdul Fickar, Senin (21/7).
Berdasarkan undang-undang, komposisi hakim di Pengadilan Tipikor adalah tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier. Namun, dalam draf undang-undang yang baru, komposisi hakim ad hoc dan hakim karier diserahkan kepada ketua pengadilan.
Menurut Romli, masih terlalu dini untuk mendelegasikan wewenang besar kepada ketua pengadilan negeri yang perekrutan dan pengangkatannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Apalagi ditengarai perekrutan tersebut masih sarat dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.
”Siapa yang menjamin ketua pengadilan negeri di ibu kota provinsi tidak bermasalah. Apakah ada jaminan komposisi majelis hakim Pengadilan Tipikor akan berimbang pada setiap kasus korupsi,” ujar Romli.
Denny mengatakan hal senada. Menurut dia, hal itu menjadi tanda bahaya bagi keberlangsungan Pengadilan Tipikor. ”Bisa terjadi penularan praktik mafia peradilan dari peradilan umum ke Peradilan Tipikor. Seperti diketahui, hakim-hakim kita ini pelaku mafia peradilan,” ujarnya.
Febri Diansyah menyoroti alasan pengadilan umum/negeri belum dapat dipercaya. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, selama semester pertama tahun 2008, sebanyak 53 persen perkara korupsi diputus bebas. Dari 196 terdakwa korupsi, sebanyak 104 terdakwa divonis bebas.
”Inilah mengapa rezim peradilan umum belum pantas dipercaya untuk menangani perkara korupsi,” ujarnya.
Sementara Firmansyah mengatakan, penyerahan wewenang ke ketua pengadilan negeri dan Mahkamah Agung mereduksi independensi Pengadilan Tipikor. Pasalnya, dengan mudah Ketua Mahkamah Agung dapat mengintervensi ketua pengadilan negeri dengan menentukan komposisi majelis. (ANA)
Sumber: Kompas, 22 Juli 2008