Kompromi Legalitas Jaksa Agung
LEGALITAS Hendarman Supandji sebagai jaksa agung memasuki polemik baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan soal masalah itu. Dikatakan membuka polemik baru karena putusan MK bersifat ambigu terhadap sah tidaknya Hendarman sebagai jaksa agung sehingga memunculkan penafsiran baru atas legalitas tersebut. Semestinya, putusan MK tegas, apakah jaksa agung itu sah atau tidak.
Dalam diktum (amar), MK berpendapat, masa jabatan jaksa agung berakhir dengan usainya masa jabatan presiden Republik Indonesia dalam satu periode, bersama-sama dengan tuntasnya masa jabatan anggota kabinet. Selain itu, masa jabatan tersebut berakhir jika jaksa agung diberhentikan oleh presiden dalam periode yang bersangkutan. Sementara itu, konsideran putusan menyatakan bahwa jabatan jaksa agung yang disandang Hendarman tidak bisa dikatakan ilegal. Arti a contrario (mafhum mukhalafah)-nya, jabatan jaksa agung bagi Hendarman legal.
Ambiguitas putusan tersebut lebih membingungkan lagi jika mempertimbangkan penjelasan ketua MK dalam konferensi pers. Dia menyatakan bahwa jabatan jaksa agung bagi Hendarman sah sampai pukul 14.35 WIB pada 22 September 2010. Setelah lewat pukul tersebut, jabatan itu tidak sah (Jawa Pos, 23/9/2010). Penjelasan itu tentu tidak konsisten dengan konsideran putusan tersebut serta melampaui wewenang MK karena membatalkan keppres pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung -yang bukan wewenang MK, melainkan pengadilan tata usaha negara.
Kalau mengkaji secara lebih komprehensif bahwa putusan MK itu sebenarnya bersifat melengkapi UU Kejaksaan -yang belum tegas dalam mengatur waktu jabatan jaksa agung-, apakah jabatan jaksa agung mengikuti periodisasi jabatan presiden sebagai lembaga yang mengangkatnya? Ataukah jabatan jaksa agung tersebut mengikuti umur yang bersangkutan, sebagaimana usia pensiun seorang jaksa karir? Dengan putusan MK tersebut, jabatan jaksa agung ke depan mengikuti periodisasi jabatan presiden. Tetapi, hal itu harus diatur dalam UU Kejaksaan yang direvisi DPR. Jadi, sebenarnya pengangkatan Hendarman sebagai jaksa agung belum mengikuti putusan MK.
Sejatinya, implikasi hukum dari putusan MK tersebut, pengangkatan jaksa agung di kemudian hari setelah Hendarman harus mengikuti amar putusan MK dan kemungkinan perubahan UU Kejaksaan. Sedangkan Hendarman saat ini masih sah sebagai jaksa agung sampai ada pemberhentian oleh presiden melalui keppres. Ada beberapa argumentasi hukum akan hal itu. Pertama, konsideran putusan MK secara expressis verbis (tersurat) menyatakan bahwa Hendarman tidak bisa dikatakan sebagai jaksa agung yang ilegal. Karena itu, Hendarman harus tetap dianggap legal (sah), baik sebelum maupun sesudah putusan MK tersebut dibacakan, sampai ada keppres pemberhentiannya.
Kedua, dalam hukum administrasi negara terdapat asas presumptio iustae causa dan contrarius actus. Dalam kaitan dengan kasus itu, asas tersebut bermakna bahwa tindakan presiden yang mengangkat Hendarman sebagai jaksa agung harus tetap dianggap sah menurut hukum (rechtmatigheid) dan mengikat secara hukum sampai ada keputusan dari presiden yang memberhentikannya atau putusan pengadilan yang membatalkan keppres pengangkatan Hendarman. Faktanya, sampai saat ini tidak ada keppres yang mencabut keppres pengangkatan Hendarman. Juga tidak ada putusan pengadilan yang membatalkan keppres tersebut.
Pengadilan yang berwenang membatalkan keppres, yang notabene bersifat beschikking, adalah pengadilan tata usaha negara, bukan MK. Pengadilan tata usaha negara pun sekarang sudah tidak berwenang membatalkan keppres pengangkatan Hendarman karena tenggang yang diperbolehkan oleh Undang-Undang, yakni 90 hari, telah lewat. Dengan demikian, keppres pengangkatan Hendarman sah dan definitif sampai saat ini sekalipun.
Pemahaman ketua MK bahwa Hendarman sah sebagai jaksa agung selama ini dan menjadi tidak sah setelah pukul 14.35 WIB pada 22 September 2010 bukan pemahaman yuridis, melainkan lebih pada bentuk kompromistis bagi presiden dan Yusril Ihza Mahendra. Dikatakan kompromistis karena pemahaman yang demikian akan menyelamatkan muka presiden dari keilegalan Hendarman, tapi sekaligus memberikan sedikit keadilan hukum bagi Yusril. Namun, bentuk putusan yang kompromistis itu berpotensi menabrak norma-norma perundang-undangan yang lain, sebagaimana saya jelaskan sebelumnya.
Meski demikian, saya mengusulkan bentuk kompromi atas kompromi putusan MK tersebut. Yakni, sebaiknya presiden menyegerakan penggantian Hendarman sebagai jaksa agung -yang memang sudah direncanakan oleh istana. MK tidak bisa memaksakan kehendak bahwa setelah pukul 14.35 WIB pada 22 September 2010 Hendarman sebagai jaksa agung tidak sah dan dalam waktu 1 x 24 jam presiden harus mengeluarkan keppres pemberhentiannya.
Penyegeraan penggantian jaksa agung itu juga sangat realistis. Pertimbangannya, pengangkatan jaksa agung tidak melalui proses di DPR, seperti pengangkatan panglima TNI atau Kapolri. Sewaktu-waktu, presiden bisa mengangkat dan memberhentikan jaksa agung meskipun dalam hitungan jam. Penyegeraan penggantian jaksa agung juga bisa berarti menghentikan manuver-manuver internal kejaksaan mengenai profil jaksa agung mendatang -di mana serikat jaksa Indonesia belum lama ini mengeluarkan "teror" terhadap hak prerogatif presiden yang mengharuskan jaksa agung dari kalangan internal. (*)
*) Dr M. Hadi Shubhan , pengajar sengketa pemerintahan Fakultas Hukum dan Sekretaris Universitas Airlangga
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 September 2010