Konglomerat Hitam dan Hitamnya Hukum
ALMARHUM budayawan kenamaan Kuntowidjoyo pernah menyampaikan prediksi bahwa pada masa mendatang pelaku sejarah yang memengaruhi atau menentukan corak kehidupan bangsa adalah kalangan pelaku usaha atau pemilik modal besar. Hitam putihnya wajah negara ikut ditentukan oleh sepak terjang komunitas elite ekonomi tersebut.
Sebutan lain elite ekonomi atau pelaku usaha itu adalah konglomerat. Memang, seperti ramalan budayawan itu, konglomerat di negeri ini memegang kunci strategis dalam memengaruhi potret kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Puluhan juta rakyat Indonesia menggantungkan kesejahteraan ekonomi kepada mereka.
Namun, karena perilaku konglomerat itu, khususnya yang terbilang konglomerat hitam, wajah negeri ini juga centang-perentang, terlebih dalam dunia hukum. Buramnya negara hukum tidak terlepas dari aksi dan andil konglomerat hitam.
Buramnya dunia hukum kita, minimal sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi ini, tak lepas dari peran konglomerat hitam yang demikian jauh memasuki dunia peradilan. Jumlah mereka memang tidak terhitung dan tidak bergelar sarjana hukum. Tapi, sepak terjangnya mampu membiaskan atau mengontaminasi bekerjanya idealisme hukum menjadi ''hukum sekadar di atas kertas''.
Bagaimana caranya konglomerat hitam bisa mendesain dunia peradilan atau membuat hukum berwajah temaram (hitam)? Bagaimana aparat penegak hukum bisa masuk ke lingkaran hitam yang dibuat mereka?
Sebagai sampel, kita tentu tidak sampai lupa pada kasus kredit macet Bank Bapindo yang menggegerkan pada rezim Order Baru. Kasus itu terkait dengan ulah pengusaha Edy Tansil. Dia bisa mencairkan uang Rp 1,3 triliun dari Bapindo karena mendapatkan katebelece dari Soedomo. Ketika proses hukum masih berjalan, dia berhasil melarikan diri.
Kasus tersebut menjadi tamparan bagi aparat penegak hukum. Kalau sampai terhukum (terpidana) bisa melarikan diri, logis kalau mencuat dugaan bahwa aparat penegak hukum kalah superior daripada konglomerat hitam. Pelaku usaha tersebut dianggap lebih lihai dan ''pintar''.
Dari kasus itu pula kemudian mencuat hasil-hasil pelacakan yang, antara lain, menyebutkan bahwa sebenarnya konglomerat hitam sudah cukup lama mencengkeram atau membuat elemen peradilan berada dalam kekuasaannya. Elemen peradilan sudah mereka kerangkeng, sehingga sulit menunjukkan kecerdasannya, apalagi berani menjaring atau mempertanggungjawabkan secara inklusif, akuntabel, dan berkeadilan terhadap konglomerat hitam.
Katakanlah ketika konglomerat hitam sengaja memacetkan kreditnya di lembaga perbankan atau membuat lembaga perbankan mengalami kelumpuhan karena dananya ''dilarikan''-nya ke bank-bank luar negeri, aparat penegak hukum sulit menjaringnya.
Itu bisa terjadi karena konglomerat hitam telah berhasil membuat aparat hukum seperti anak-anak manis dan manja. Konglomerat tersebut sukses membuat aparat layaknya robot yang akselerasinya mengikuti apa yang mereka gariskan.
***
Kehadiran pengusaha semacam Anggoro dan Anggodo sudah diasumsikan oleh publik mempunyai kedekatan istimewa dengan elite penegak hukum, yang secara langsung atau tidak, berdampak memberi wajah ''kuyu'' bagi dunia peradilan (hukum). Memang, kedekatan keduanya belum dibuktikan melalui pengadilan dan vonis yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tapi, setidaknya pemberitaan di nyaris semua media massa menyebutkan bahwa Anggodo-Anggoro merupakan ''duri'' dalam peradilan.
Pemberitaan media tersebut menyimpulkan, dunia peradilan di negeri ini menjadi karut-marut tidak lepas dari sepak terjang pelaku usaha yang usahanya itu bermasalah secara hukum. Karena usahanya yang cacat tersebut, mereka memproduk pola simbiosis mutualisme dengan elemen penegak hukum atau menyeret penegak hukum untuk memasuki dunianya, setidaknya oknum strategis dalam komunitas aparat penegak terus saja ''dipelihara'' supaya setia dalam memberi garansi perlindungan.
Kerentanan pelaku usaha untuk digolongkan menjadi konglomerat hitam di negeri pun masih ''terbuka lebar'' seiring dengan, misalnya, banyaknya kredit macet. Sebab, secara umum, kredit macet yang bermasalah berelasi dengan pengusaha besar. Gunawan (2009) menyebutkan, kredit macet perbankan Indonesia tercatat mencapai Rp 51,9 triliun pada September lalu atau rata-rata 3,8 persen. Data BI mencatat angka kredit macet tersebut turun daripada bulan sebelumnya yang masih Rp 54,3 triliun.
Kasus kredit macet tersebut hanya merupakan sampel bahwa ulah konglomerat dalam mempermainkan modal yang diperoleh dari keuangan rakyat (nasabah) dan negara tidaklah sedikit. Dari uang yang diperoleh dan dimacetkan itu, bisa dipraduga beberapa di antaranya dinikmati orang, elite strategis, atau dialirkan ke pihak-pihak yang membingkainya.
Rekomendasi Tim Delapan yang menuntut dilakukannya gerakan pemberantasan mafia perkara di lingkungan peradilan (kejaksaan, kepolisian, kehakiman/pengadilan, institusi advokat, dan lainnya) memang patut disambut gembira. Namun, pertanyaan tetap menggantung, apakah elemen peradilan cukup bernyali untuk menghadapi komponen mafioso dari konglomerat hitam itu?
Nyali elite penegak hukum benar-benar ditantang lawan yang tak ringan. Sebab, yang dihadapi adalah seseorang, segolongan, korporasi, atau sekelompok orang yang selama ini (barangkali) sudah didaulatnya menjadi ''majikan''. Namanya juga majikan, tentulah pekerjaan atau ''profesinya'' menggiring, memerintah, dan memaksa pekerja atau buruhnya. Dalam paradigma demikian, majikan jelas mempunyai kekuatan yang menentukan nasib elemen yang menjadi subordinatnya.
Konstruksi relasi bercorak patronase (pertuanan) tersebut jelas menjadi hambatan yang tidak mudah bagi pemberangusan atau penyingkiran konglomerat hitam dari wilayah peradilan. Sebab, yang dihadapi penegak hukum sebenarnya adalah diri sendiri. Artinya, musuh terberat dalam rangka menyembuhkan hitamnya penegakan hukum di negeri ini adalah ambisi, keserakahan, arogansi, dan ''konglomerasi kriminalisasi'' yang diabsolutkannya.
Aparat penegak hukum pun harus bersiap-siap kehilangan sumber pendapatan nonformal dan ilegal dari konglomerat hitam yang (barangkali) selama ini mengisi atau mewarnai pundi-pundi profesinya, manakala sudah bertekad bulat meneguhkan gerakan bercerai dari konglomerat hitam dan memulai gaya hidup baru dengan segala kekurangan atau keterbatasannya. Pertanyaannya, apakah mereka siap? (*)
*). Anang Sulistyono, lawyer dan penulis buku Penegakan HAM di Negara Hukum
Tulisan ini disalin dari jawa Pos, 21 November 2009