Konglomerat Hitam Pilih Capres yang Bisa Lindungi Kepentingannya (3 Juli 2004)
Jakarta, Kompas - Kampanye pemilihan umum calon presiden dan wakilnya yang sudah berakhir dua hari yang lalu disinyalir tidak lepas dari peran konglomerat hitam yang turut menyokong pendanaan kampanye. Dalam memberikan dukungan, para konglomerat hitam cenderung memilih calon presiden dan wakilnya yang dianggap bisa melindungi kepentingannya di kemudian hari.
Demikian kesimpulan yang mengemuka dari acara diskusi terbatas yang diselenggarakan Yayasan Harkat Bangsa dengan tema Konglomerat Hitam Pilih Siapa? Kamis (1/7) malam. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu di antaranya pengamat ekonomi Faisal Basri dan Ketua Pengawas Korupsi Indonesia (ICW) Teten Masduki.
Menurut Faisal Basri, dari segi perspektif konglomerat hitam, dalam menentukan pilihan calon presiden (capres), mereka akan memilih pasangan yang secara efektif bisa melindungi kepentingan-kepentingan mereka dan bisa melindungi segala sesuatu yang telah mereka dapatkan agar bisa berlanjut pada proses yang lebih pasti.
Misalnya, para konglomerat yang sudah mendapatkan surat bebas utang dari BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Dalam menentukan pilihan, mereka juga akan melihat siapa kiranya yang akan iseng mengutak-atik kepentingan mereka. Untuk menutup itu, mereka akan mendukung capres yang mereka anggap iseng itu. Tapi, mereka juga akan menghitung lagi kans menang capres itu, kata Faisal.
Dikatakan, dilihat dari segi pro bisnis, yang ditakutkan para konglomerat hitam adalah kebijakan-kebijakan yang nasionalistik, antipasar, antiglobalisasi, dan sebagainya. Capres-capres yang mengumbar janji terlalu banyak pada kepentingan tenaga kerja biasanya akan masuk daftar hitam konglomerat hitam itu.
Teten Masduki mengatakan, ada dua celah yang bisa dilakukan konglomerat hitam dalam memberikan sumbangan. Pertama, menyumbang langsung lewat kandidat yang kemudian diatasnamakan diri kandidat. Kedua, lewat partai.
Kedua celah ini memang memungkinkan karena di dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden tidak diatur ketentuan batasan sumbangan dana kampanye dari pasangan calon maupun partai politik atau gabungan partai politik. Dalam UU tersebut hanya disebutkan batasan sumbangan dari perorangan yang jumlahnya maksimal Rp 100 juta dan badan hukum swasta yang jumlahnya Rp 750 juta.
Teten mengatakan, dari hal itu ICW berkeyakinan bahwa dana kampanye para capres itu berasal bukan dari anggota, tetapi setoran dari pengusaha. Pintu penyaluran sumbangan tersebut bisa lebih dari satu pintu. Jadi tidak harus melalui bendahara partai atau tim sukses, kata Teten.(OTW)