Konservatisme Pemeriksaan Keuangan Negara
Membaca tulisan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan RI Baharuddin Aritonang dalam Republika (7 Maret 2005) yang berjudul BPK dan Pemeriksaan BUMD, ada beberapa hal yang perlu ditanggapi sekaligus diluruskan untuk memberikan pemahaman yang proporsional terhadap kedudukan BPK dan pengertian keuangan negara dari segi yuridisnya. Pemahaman yang kurang tepat mengandung potensi mengurangi efektivitas tujuan pemeriksaan keuangan negara dan efisiensi pengawasan pembangunan secara keseluruhan.
Harus diakui pemahaman yang kurang tepat tersebut, antara lain, disebabkan adanya rumusan dalam Perubahan Pasal 23 UUD 1945 yang sangat tidak memenuhi kadar ilmiah dari segi substansinya dan cenderung mengabaikan segi filosofis, yuridis, dan sosiologis materi muatan suatu undang-undang dasar. Sebagai suatu contoh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan APBN sebagai perwujudan dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hanya merupakan kalimat retorik yang tidak memenuhi segi filosofi anggaran. Hal demikian disebabkan APBN bukan sekadar perwujudan pengelolaan keuangan negara, tetapi merupakan wujud kedaulatan rakyat yang tercermin pada hak budget DPR.
Disorientasi fungsi
UUD 1945 melegitimasi perubahan fungsi pemeriksaan BPK yang tidak hanya ditujukan pada tanggung jawab keuangan negara, tetapi juga pengelolaan keuangan negara. Perubahan demikian jelas menciptakan disorientasi fungsi BPK yang melebar ke segala arah dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Dari segi hukum keuangan publik, disorientasi fungsi pemeriksaan keuangan negara yang terlalu luas akan melemahkan rentang kendali (spent of control), inmodernisasi, penyalahgunaan wewenang, dan menjadi tidak tanggap terhadap munculnya penyimpangan keuangan negara secara efektif. Dengan kata lain, disoerientasi pemeriksaan keuangan negara yang dilegitimasi UUD 1945 hanya akan mendorong ketidakberdayagunaan BPK dalam menjangkau segi strategis tanggung jawab keuangan negara dibandingkan berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan keuangan negara.
Dengan demikian, tepat penyusun naskah asli Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 yang menempatkan BPK sebagai lembaga yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara agar orientasi BPK tidak lepas dari pemeriksaan yang bersifat makro strategis. Penyusun naskah asli UUD 1945 mempunyai pemahaman yang lebih strategis dan sangat memahami prinsip dasar efektivitas kinerja organisasi. Dengan fungsinya sebagai pemeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK menempatkan secara sejajar kedudukannya sebagai lembaga negara.
Sebagai lembaga negara yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK merupakan lembaga yang langsung mengawasi dan memeriksa kebijakan keuangan negara (fiscal policy audit) yang dilakukan pemerintah. Fungsinya yang sangat strategis dan terhormat tersebut menempatkan BPK sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, termasuk pemerintah, untuk menjaga obyektivitasnya. Oleh sebab itu, secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan BPK untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara melalui Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Apabila mendasarkan pada konsep hukum administrasi negara, BPK telah berubah dari bentuk organisasi negara menjadi organisasi administrasi negara, sehingga kedudukannya melemah sebagai bagian dari unsur pemerintah dan bukan sebagai lembaga yang mandiri. Salah satu bukti perubahan bentuk tersebut adalah dimungkinkannya BPK membuka perwakilan di setiap provinsi.
Dari segi hukum administrasi negara, lembaga negara, guna menjaga citra kewibawaan dan pengaruhnya, tidak mungkin membuka perwakilannya di luar ibu kota negara. Hal ini dilakukan agar lembaga negara tetap berfungsi hanya pada inti pokok tugasnya sebagai bagian dari lingkup masalahnya (kernzaken en problemen) dan menjaga kualitas kinerja dibandingkan hanya mengejar kuantitas. Berdasarkan hukum keuangan publik, pengutamaan kuantitas dalam pemeriksaan cenderung menyebabkan temuan atas penyimpangan keuangan negara dilakukan secara kebetulan (by-chance), dan tidak secara sistematis (by-system).
Oleh sebab itu, kebertahanan BPK pada perubahan fungsinya sebagai pemeriksa tanggung jawab sekaligus pengelolaan keuangan negara dan kedudukannya yang ''menurun'' sebagai organisasi administrasi negara mengingatkan kembali pada keberadaan Algemenee Rekenkamer (ARK), lembaga pemeriksa zaman kolonial Belanda, yang merupakan lembaga di bawah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sebagai lembaga pemeriksa di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ARK memeriksa pengelolaan keuangan pemerintah dan mempunyai perwakilan di setiap daerah. Oleh sebab itu, secara yuridis-historis, fungsi dan kedudukan BPK berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 memutar kembali fungsi dan kedudukannya seperti 350 tahun yang lalu. Konservatisme pemeriksaan ini tentu tidak diinginkan semua pihak, termasuk BPK itu sendiri.
Distorsi arti keuangan negara
Satu hal yang perlu juga memperoleh pemahaman yang proporsional adalah mengenai pengertian keuangan negara. UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mendistorsi pengertian keuangan negara menjadi kabur dan cenderung mereduksi pengertian keuangan daerah, keuangan BUMN dan BUMD, bahkan keuangan badan lain yang memperoleh fasilitas dari pemerintah, di mana pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Distorsi arti keuangan negara demikian hanya mengaburkan esensi otonomi daerah dan mengurangi kemandirian yang menjadi ciri dasar suatu badan hukum dan badan usaha.
Bahkan, Pasal 2 UU No 17 Tahun 2003 yang merumuskan secara lengkap keuangan negara cenderung menimbulkan kerugian keuangan negara dan membangkrutkan negara. Hal ini khususnya ditujukan pada Pasal 2 huruf I UU No 17 Tahun 2003, yang menyatakan salah satu arti keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang memperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan rumusan ketentuan tersebut, negara akan turut bertanggung jawab terhadap kekayaan pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah.
Dengan demikian, apabila pihak swasta yang memperoleh fasilitas pemerintah dalam keadaan insolvensi, dan dinyatakan pailit, negara harus turut bertanggung jawab atas utang swasta. Hal ini disebabkan kekayaan pihak lain yang dimilikinya itu diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah. Situasi inilah yang kini dihadapi pemerintah dalam kasus PT Karaha Bodas (KBC).
Oleh sebab itu, perlu segera dilakukan penelahaan kembali terhadap keuangan negara yang proporsional. BPK seharusnya menjadi pihak yang pertama menolak arti keuangan yang salah kaprah menurut UU No 17 Tahun 2003 tersebut, dan bukannya menyatakan pihak yang menolak arti keuangan negara tersebut sebagai pihak yang tidak paham. Dengan dasar inilah, sudah sepantasnya UU No 17 Tahun 2003 harus dilakukan perubahan untuk menghindari kerugian keuangan negara yang lebih besar di saat beban keuangan negara yang semakin berat.
Progresivitas pemeriksaan
Dengan memposisikan kembali orientasi pemeriksaan dan arti keuangan negara, pemeriksaan terhadap BUMN dan BUMD, khususnya yang berbentuk perseroan terbatas, tentu bukan menjadi kewenangan BPK. Sebagai lembaga negara, secara ideal, BPK harus memusatkan orientasi pemeriksaan terhadap kebijakan keuangan negara yang bersifat strategis. Dengan demikian, pemeriksaan terhadap BUMN dan BUMD yang berbentuk perseroan terbatas diserahkan kepada akuntan publik, yang kemudian pelaporannya diserahkan kepada rapat umum pemegang saham (RUPS). BPK hanya dapat melakukan pemeriksaan terhadap BUMN/BUMD jika dikehendaki RUPS. Hal inilah merupakan esensi dasar kemandirian BUMN/BUMD sebagai badan hukum.
Dengan dasar pemahaman yang proporsional mengenai pemeriksaan ini, menjadi jelas adanya pemeriksa internal dan eksternal tetap dibutuhkan. BPK tidak dapat menutupi keterbatasan fungsi dan kedudukannya dengan jalan menguasai semua obyek pemeriksaan dari hulu ke hilir. Menjadi kodrat hukumnya bagi BPK untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara dengan tetap menjaga hubungan yang konstruktif dengan jajaran lembaga pemeriksaan internal. Suatu hal yang pernah disadari ketua BPK pada 1999 yang menyatakan di dalam semua sistem pengawasan keuangan yang berjalan baik, auditor eksternal harus mampu bertumpu pada hasil-hasil pemeriksa auditor intern. (Arifin P Soeria Atmadja, guru Besar Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Tulisan ini diambil dari 26 Maret 2005