Kontroversi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Ketika tiga pengutang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yaitu Ulung Bursa, Komisaris Utama Bank Lautan Berlian; James Januardy, Komisaris Utama Bank Namura Yasonta; dan Lukman Astanto, menantu dari Komisaris Utama Bank Indonesia Raya Atang Latief, melenggang menuju Kantor Presiden di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (6/2) sore , seorang wartawan media cetak yang meliput berkeluh kesah.
Menurut dia, betapa ketidakadilan terjadi di depan mata, tanpa siapa pun bisa mencegahnya. Ketika sejumlah korban saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dijahit bibirnya jangankan disapa oleh petinggi negara ini, mereka mau meminta perhatian di depan Istana Negara saja dihalau karena tidak mengantongi izin. Namun, berbeda dengan ketiga pemilik bank itu yang datang ke Kantor Presiden untuk menyelesaikan utangnya. Ketiganya diantar, antara lain, oleh Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Gorries Mere.
Dari informasi yang diperoleh Kompas, ketiga pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu sudah mengajukan proposal pembayaran utang BLBI ke Mabes Polri. Mereka juga meminta pemerintah membebaskan dari segala tuntutan hukum, seperti halnya penerima BLBI lainnya yang sudah selesai dan membayar lunas. Sebut saja seperti Anthony Salim (Salim Grup), Sjamsul Nursalim (Gajah Tunggal Grup), Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Risjad (Rank RSI), dan The Ning King (Bank Dana Hutama) yang mengantongi surat keterangan lunas (SKL) sehingga kasus pidananya tidak diteruskan. Proposal itu disampaikan ke Departemen Keuangan, tetapi belum ditanggapi sampai saat itu. Karena itu, mereka difasilitasi datang ke Kantor Presiden.
Dengan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 maka pengutang BLBI yang dinilai telah menyelesaikan kewajiban utangnya kepada Negara jika mereka tengah dalam proses hukum pidana kepolisian dan kejaksaan terkait kasus pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dan penyalahgunaan BLBI-nya akan dihentikan prosesnya.
Ketiga debitor BLBI datang ke Kantor Presiden. Namun, tak ada pejabat yang menemuinya. Puluhan mata wartawan saat itu menyaksikan kedatangan mereka. Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Sutanto yang ditanya pers mengaku bahwa ketiganya memang berniat mencari solusi penyelesaian utang BLBI-nya dan Polri mencoba memfasilitasi.
Menyusul kembalinya Direktur Utama Bank Umum Servitia David Nusa Wijaya ke Tanah Air setelah melanglang buana di negeri orang memang satu per satu para debitor BLBI itu ikut-ikut pulang kampung. Tekad pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencari dan mengembalikan seluruh buronan kasus BLBI dan tindak pidana korupsi lainnya ke Tanah Air ibarat gayung bersambut oleh para buronan.
Janji bahwa pemerintah akan memperlakukan mereka sesuai dengan hak para pengutang secara hukum dan sosial apalagi ditambah upaya pemberantasan korupsi yang kelihatannya serius dilakukan pemerintah menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang tersebut sehingga setelah David Nusa Wijaja pulang kampung, Atang Latief pun menyusul. Kepulangan para pengutang BLBI itu seperti anak hilang yang kembali. Maka, tak usah heran ketika dua debitor BLBI lainnya, yaitu Ulung Bursa dan James Januardy, tiba-tiba nongol di Kantor Presiden. Padahal, mereka tak pernah kedengaran kapan perginya meninggalkan Indonesia dan ogah berurusan dengan BPPN sampai lembaga itu dibubarkan pemerintah. Ketiga debitor itu tercatat meneken perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) akta pengakuan utang (APU) sebelum menghilang dari negosiasi BPPN.
Setelah mereka tak mau bertanggung jawab dengan utang BLBI yang diperolehnya dan tinggal di luar negeri meninggalkan Indonesia, kini mereka pulang. Bahkan, mereka bisa meluruskan kasus dan statusnya seperti warga negara baik-baik dalam sebuah keterangan pers di Mabes Polri. Dan, juga bisa datang ke simbol negara yang selama ini dihormati banyak orang karena sebagai kantor dan lingkungan kediaman dinas Presiden.
Barangkali kalau pemerintah nantinya setuju dengan kemauan mereka—membayar utang BLBI, tetapi dibebaskan dari proses hukum pidana—tentu saja orang seperti Samadikun Hartono (Modern Grup), Hendrawan Haryono (Bank Aspac), Eko Adi Putranto (Bank Harapan Sentosa dan Sherni Konjongian), Agus Anwar (Bank Pelita), dan belasan lainnya yang kini masih buron dan tidak terjangkau dari penegak hukum di negeri ini akan berbondong-bondong mudik ke Indonesia, untuk melunasi utangnya dan menikmati hari tuanya di luar sel penjara.
Lalu, apakah pemerintahan Presiden Yudhoyono akan menempuh kembali cara-cara seperti yang pernah ditempuh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dulu, yaitu memberikan SKL, asalkan para debitor itu mau membayar kewajibannya?
Di tengah-tengah upaya Presiden melakukan pemberantasan korupsi, tetapi dengan adanya perjanjian yang mencantumkan klausul pemberian jaminan pembebasan dari tuntutan hukum jika debitor BLBI bersikap kooperatif dan mau menyelesaikan kewajiban utangnya kepada negara (release and discharge/R&D) dan demi tercapaianya tingkat pengembalian (recovery rate) utang BLBI yang besar agar kerugian negara sekecil mungkin bisa ditutup, tentu tidak gampang bagi Presiden Yudhoyono memutuskannya. Diserahkan sepenuhnya ke Menteri Keuangan? Tentu juga tak memiliki argumentasi hukum yang kuat.
Kalau memang pemerintahan Presiden Yudhoyono mau meniru cara seperti yang dilakukan Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Yudhoyono tentu harus merevisi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002, yang dikeluarkan 30 Desember 2002, tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham.
Pasalnya, inpres tersebut, meskipun tidak memberikan tenggat waktu daya berlakunya, merupakan instruksi kepada sejumlah pejabat negara untuk mengambil langkah memberikan kepastian, memberikan bukti penyelesaian dengan cara pembebasan, serta melaporkannya kembali, tentunya harus diubah mengingat menko perekonomian yang berdasarkan inpres tersebut juga merangkap sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) sudah berakhir dan tidak ada lagi. Bahkan, Kepala BPPN yang diinstruksikan Presiden juga sudah tidak ada lagi karena BPPN sudah berakhir 27 Februari 2003.
Setelah berakhirnya BPPN, pemerintah membentuk dua lembaga baru untuk menangani sisa aset BPPN yang masih ada. Kedua lembaga itu adalah Tim Pemberesan yang dipimpin Menkeu dan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Tim Pemberesan menangani sejumlah aset BPPN yang masih bermasalah, tetapi bukan mengurusi debitornya. Adapun PPA merupakan lembaga yang mengelola dan menjual aset yang tidak bermasalah (free and clear).
Sebelum mengakhiri tugasnya 27 Februari 2003, BPPN telah memberikan batas waktu bagi seluruh debitor BLBI untuk menyelesaikan kewajibannya, yaitu tanggal 23 Januari 2003. Dengan tenggat waktu tersebut, maka para debitor BLBI yang tidak menyelesaikan kewajiban BLBI-nya dianggap tidak kooperatif dan dialihkan ke proses pidana kepada Polri dan Kejaksaan Agung.
Kini, ketika mereka yang telah lari dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban BLBI-nya, tetapi tiba-tiba dengan niat baik datang kembali untuk membereskannya, tanpa ada sanksi hukum, bagaimana kita akan memperlakukannya?(Suhartono)
Sumber: Kompas, 14 Februari 2006