Kontroversi Kasus Bibit-Chandra
Lakon cicak-buaya yang dipicu sikap reaksioner seorang petinggi Polri telah bergulir menjadi isu besar. Ketika dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, muncul dugaan keras adanya rekayasa dan indikasi serangan balik koruptor (corruptor fights back).
Jutaan orang sontak bereaksi lewat jejaring sosial di dunia maya untuk memberikan dukungan kepada dua pemimpin KPK. Perkembangan itu kemudian direspons Presiden dengan membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto (Tim 8).
Bulan Juni ini, genap satu tahun sejak drama cicak-buaya bermula. Tarik-menarik antara kekuatan reformis dan mafia hukum semakin kuat. Sementara itu, pemerintah terkesan mengambil sikap suam-suam kuku dan kurang memiliki sensitivitas pada rasa keadilan masyarakat. Nasib Bibit-Chandra yang terus digantung adalah salah satu buktinya.
Dalam tulisan ini saya berupaya untuk melakukan suatu refleksi kritis terhadap proses hukum kasus Bibit-Chandra. Hal ini saya anggap perlu dilakukan untuk melacak akar persoalan sesungguhnya agar kita mampu melihat secara lebih jernih segala macam kontroversi yang jadi permasalahan dalam kasus ini. Upaya ini juga perlu sebagai kontribusi untuk ikut mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tim 8 dan Presiden
Tim 8 hanya diberikan waktu tugas selama 14 (empat belas) hari kerja untuk melaksanakan satu misi yang amat berat. Tugas pertama yang dijalankan oleh seluruh anggota Tim 8 adalah hadir di Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan rekaman Anggodo cs. Selepas itu, Tim 8 langsung mendatangi Kapolri untuk mengupayakan pembebasan Bibit-Chandra. Selanjutnya, Tim 8 mempelajari berkas dan dokumen serta meminta keterangan dari sejumlah pihak terkait.
Setelah waktu tugas itu berakhir, Tim 8 menyerahkan laporan akhir yang dilengkapi dengan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi bagi Presiden. Dalam kesimpulan pokoknya, Tim 8 menyatakan tidak terdapat cukup bukti untuk meneruskan perkara ke pengadilan. Atas dasar itu, Tim 8 merekomendasikan kepada Presiden agar proses hukum terhadap dua pemimpin KPK sebaiknya dihentikan.
Setelah mempelajari laporan Tim 8, Presiden menyampaikan agar terhadap kasus Bibit-Chandra sebaiknya dilakukan penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement). Meski demikian, Presiden ternyata tidak sepenuhnya bersepakat dengan laporan Tim 8. Di satu sisi Presiden setuju perkara dihentikan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan, tetapi disisi lain Presiden rupanya juga menyetujui kesimpulan Kepolisian dan Kejaksaan yang menyatakan bahwa kasus Bibit-Chandra telah cukup bukti.
Dalam latar seperti itu, Kejaksaan terus didesak untuk segera merespons perkembangan dan mengambil langkah hukum secara cepat. Jaksa Agung tak kunjung mendapatkan sinyal dari eksekutif untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeering). Padahal, deponeering sebagai pelaksanaan asas oportunitas hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memerhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut (Penjelasan Pasal 35 (c), UU No 16/2004).
Ketidakpaduan sikap Presiden yang tidak meneruskan perkara ke pengadilan atau out of court settlement dengan bukti yang dianggap sudah cukup oleh Kepolisian dan Kejaksaan adalah kontroversi pertama dalam penyelesaian kasus Bibit-Chandra. Hal itu kemudian diperparah oleh ketidaktegasan Presiden yang juga turut mendorong kontroversi berikutnya, yaitu terbitnya surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) yang menggunakan alasan sosiologis sebagai dasarnya.
Padahal jika benar Presiden sepakat dengan Tim 8 bahwa tidak cukup bukti, maka SKPP yang dikeluarkan Kejaksaan harus berdasarkan alasan hukum yaitu antara lain tidak cukup bukti, bukan alasan sosiologis yang tidak ada dasar hukumnya. SKPP sesat itulah yang menjadi akar hambatan penyelesaian kasus Bibit-Chandra hingga kini.
Sesat langkah Kejaksaan
Dalam rekomendasinya, Tim 8 memberikan dua opsi langkah hukum kepada Kejaksaan dan Jaksa Agung. Opsi pertama atau yang paling ideal adalah penghentian penuntutan. Hal itu sejalan dengan kesimpulan Tim 8 yang tak menemukan bukti yang cukup dalam kasus Bibit-Chandra. Opsi terakhir adalah deponeering.
Kejaksaan rupanya lebih memilih opsi pertama dengan menerbitkan SKPP. Meski demikian, pemilihan opsi pertama itu menjadi problem ketika digunakan alasan sosiologis yang mestinya jadi dasar bagi opsi deponeering. Ini jelas merupakan hal yang tidak wajar. Sulit memercayai bahwa pihak Kejaksaan tidak memahami ketentuan Pasal 140 Ayat (2) a. KUHAP yang telah mengatur secara limitatif mengenai alasan penuntut umum untuk menghentikan penuntutan, yaitu: karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum.
Oleh karena itu, tidak begitu mengherankan ketika hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya mengabulkan gugatan praperadilan atas penghentian penuntutan kasus Bibit- Chandra. Putusan hakim yang menyatakan SKPP tidak sah memang didukung pertimbangan dan argumentasi hukum yang tepat, seperti yang sudah saya kemukakan di atas. Demikian pula halnya, wajar ketika pengadilan tingkat banding malah menguatkan putusan Pengadilan Negeri.
Keheranan justru muncul ketika Jaksa Agung—sesaat setelah rapat kabinet— mengumumkan mengenai pengajuan peninjauan kembali (PK). Langkah ini jelas sangat bermasalah. Setidaknya ada dua problem yang akan muncul: Pertama, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan ataupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 Ayat (1) KUHAP).
Artinya, meski mengajukan PK, Jaksa tetap harus segera melakukan eksekusi dengan melanjutkan kasus Bibit-Chandra ke persidangan. Dengan demikian, 2 (dua) langkah hukum yang harus dijalankan jaksa akan melahirkan situasi hukum yang paradoksal. Kedua, apabila sidang Bibit- Chandra digelar dan status keduanya telah menjadi terdakwa, maka sebagai konsekuensinya mereka dapat dinonaktifkan sebagai pimpinan KPK. Hal ini jelas akan menimbulkan problem besar, khususnya bagi kinerja KPK, dan pemberantasan korupsi secara umum.
Tantangan
Kejaksaan adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk menentukan langkah hukum yang bisa ditempuh. Meski demikian, proses hukum ini harus dimaknai bukanlah semata-mata pertarungan antara Kejaksaan dengan pemohon praperadilan. Nama baik dan kehormatan, jabatan, serta kebebasan Bibit-Chandra turut dipertaruhkan.
Jaksa Agung mestinya tidak perlu lagi mengulur-ulur waktu penuntutan jika tak kunjung mendapat lampu hijau untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, apalagi jika sejak awal sudah meyakini bahkan berani memastikan bahwa kasus ini sudah cukup bukti. Dalam kasus yang pasti bakal menyedot perhatian luar biasa ini, saya menyarankan Jaksa Agung agar kembali memasang toga dan berfungsi sebagai Jaksa Penuntut Umum.
Di persidangan ini, Jaksa Agung akan memiliki kesempatan untuk membuktikan dugaannya sejak awal mengenai tindak pidana yang dilakukan Bibit-Chandra. Demikian pula sebaliknya, Tim Pembela Hukum Bibit Chandra akan memiliki peluang yang fair dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-hak dari kliennya.
Terkait hal di atas, saya memiliki satu catatan: apabila Jaksa Agung tidak berhasil membuktikan kesalahan Bibit-Chandra, beliau secara sportif mengakui kesalahannya dengan mengundurkan diri sebagai Jaksa Agung. Semoga jika jalan ini disetujui akan dapat menyingkirkan kontroversi seputar kasus Bibit-Chandra yang sampai detik ini tidak habis-habisnya.
Adnan Buyung Nasution Guru Besar Ilmu Hukum/ Advokat Senior
Tulisan ini disalin dari Kompas, 15 Juni 2010