Kontroversi Rekaman Pembicaraan
ICM Minta Denny Indrayana Mundur dari Staf Khusus Presiden Bidang Hukum
Kuasa hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah menilai ada kekuatan untuk menghalang-halangi rencana pembukaan rekaman pembicaraan dalam sidang Mahkamah Konstitusi, pekan depan.
”Itu sebuah strategi. Dia (Anggodo) pintar dan jadi bagian proses yang berjalan. Kenapa dia masuk sekarang? Itu sebagai respons serangan balik karena rekaman mau dibuka,” kata Bambang Widjojanto, kuasa hukum Bibit dan Chandra, di Jakarta, Jumat (30/10). Hal itu disampaikan Bambang menyikapi laporan Anggodo Widjojo, adik Anggoro Widjojo, ke kepolisian.
Anggodo Widjojo melaporkan empat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Markas Besar Polri atas tudingan penyalahgunaan wewenang, pencemaran nama baik, dan fitnah. Pelaporan dilakukan menyusul beredarnya rekaman yang diduga berisi upaya rekayasa kasus pimpinan KPK.
Ahmad Rivai, anggota kuasa hukum Bibit dan Chandra, mengatakan, semua pihak dituntut untuk kembali menata komitmennya dalam penegakan hukum. ”Jika nanti rekamannya dibuka di Mahkamah Konstitusi, semua yang terlibat harus diusut,” kata Rivai.
Secara terpisah, Saldi Isra, pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, mengatakan, ”Rekaman itu harus diperdengarkan dalam sidang terbuka. Selama ini tak ada tradisi sidang tertutup di MK.”
Serangan balik
Walau mengakui sulit untuk dibuktikan, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim menilai, bukan tidak mungkin berbagai persoalan yang terjadi dan dialami oleh institusi KPK hingga saat ini dipengaruhi adanya upaya serangan balik dari para pelaku praktik korupsi, yang saling berkolaborasi lantaran sama-sama merasa kepentingannya terganggu akibat sepak terjang institusi tersebut.
”Kekuatan yang menyerang balik KPK seperti itu memang tidak bisa dilihat, apalagi teraba bentuknya. Namun, kita semua dan masyarakat yakin bahwa kekuatan seperti itu ada,” ungkap Ifdhal.
Menyikapi kontroversi penahanan Bibit dan Chandra tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto meminta semua pihak bisa bersabar dan mengikuti saja proses hukum yang tengah berjalan.
”Kalau memang ada keberatan, ya dipersilakan saja karena memang ada mekanisme hukumnya juga, seperti praperadilan. Tidak bisa lain, kita harus tunggu dan ikuti saja prosesnya di pengadilan nanti,” ujar Djoko di sela-sela National Summit di Jakarta.
Menurut Djoko, siapa pun orangnya, proses hukum yang akan dikenai terhadap orang itu akan tetap sama sesuai dengan aturan hukum yang berlaku bagi setiap warga negara.
Djoko mengaku percaya kebenaran bisa terungkap dalam sebuah proses pengadilan dan bukan di media massa. Bisa saja Polri yang benar atau malah KPK yang benar dalam kasus ini.
Meski begitu, sebagai Menko Polhukam, Djoko mengaku tidak mau mengintervensi apalagi mengingat yang namanya proses hukum melibatkan banyak pihak, mulai dari kejaksaan, polisi, dan pengadilan.
Meskipun demikian, kritik terhadap penanganan Bibit dan Chandra tersebut terus menggema dari berbagai daerah.
Di Yogyakarta, Zainal Arifin Muchtar, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menilai para koruptor diuntungkan dalam kasus dugaan kriminalisasi KPK.
Menurut Zainal, penahanan Bibit dan Chandra seperti pertunjukan komedi tak lucu yang dipertontonkan ke publik. Polisi dianggap menyalahgunakan wewenang mengingat syarat subyektif penahanan sebagaimana Pasal 21 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak terpenuhi. Pasal 21 Ayat 1 mengatur penahanan tersangka atau terdakwa dilakukan lantaran kekhawatiran yang bersangkutan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana lagi.
Ketiga kekhawatiran ini tidak tampak pada diri Bibit dan Chandra. ”Bagaimana mungkin jika orang yang sudah nonaktif dari jabatannya dapat menghilangkan barang bukti?” ujar Hifdzil Alim, staf peneliti PuKAT.
Dewan Etik ICM
Tri Wahyu KH, Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM), sebuah lembaga swadaya masyarakat pemantau peradilan di Yogyakarta, meminta Denny Indrayana mundur dari jabatan sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Hukum.
Alasannya, kata Wahyu, situasi yang ada saat ini dipandang sudah sulit untuk merealisasikan pemberantasan korupsi. Sebelum menjadi staf Presiden, Denny adalah Direktur ICM dan saat ini masih menjadi anggota Dewan Etik ICM.
”Kami mengimbau kepada kawan seperjuangan untuk mundur dan selanjutnya bersama masyarakat dan KPK memperkuat barisan. Penahanan Bibit dan Chandra merupakan pembunuhan politik terhadap KPK yang merupakan simbol pemberantasan korupsi,” ujar Wahyu.
Di Surabaya, anggota Dewan Penasihat Aliansi Masyarakat Antikorupsi, yang juga pengajar ilmu hukum Universitas Airlangga, I Wayan Titip Sulaksana, juga mengkritik penahanan Bibit dan Chandra.
”Alasan penahanan keduanya (Bibit dan Chandra) terlalu dicari-cari. Dugaan pemerasan tidak terbukti. Selain itu, penyalahgunaan jabatan yang dituduhkan yang seharusnya masuk dalam ranah pelanggaran administrasi justru dikrimininalkan,” paparnya.
Menurut Wayan, dari sisi prestasi, kiprah KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi dinilai lebih berkualitas dibandingkan kepolisian dan kejaksaan.
Hal ini terlihat dari sisi pengungkapan kasus, hasil putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang tak pernah bebas murni, dan terapi kejut para pelaku korupsi pascakehadiran KPK.
”Apabila mendengar KPK akan datang, orang-orang di daerah langsung kaget dan berkeringat dingin. Tetapi, jika yang datang orang Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, reaksinya berbeda, lebih tenang,” kata Wayan.
Pengajar hukum Universitas Airlangga, Emanuel Sujatmoko, berpendapat, setelah menahan dan menjadikan Bibit serta Chandra tersangka, kepolisian harus bisa membuktikan tuduhan-tuduhan mereka.
”Jika di pengadilan tak terbukti, sama seperti para pimpinan KPK, para petinggi kepolisian juga harus berani mengundurkan diri. Pihak kepolisian tampaknya sudah yakin betul jika KPK salah. Padahal, tuntutan mereka tak jelas,” ungkap Emanuel. (ABK/WER/DWA/AIK)
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2009