Korservatisme Politik dalam RUU KIP
RUU Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) akan segera disahkan menjadi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Dari segi lamanya waktu pembahasan dan kompleksitas perdebatan yang terjadi, RUU KIP adalah rekor dalam proses legislasi di DPR. Begitu banyak perbedaan yang muncul antara DPR (dan masyarakat sipil) dan pemerintah dalam membahas pasal per pasal RUU KIP.
Hingga Desember 2007, waktu yang ditargetkan Komisi I DPR guna menyelesaikan pembahasan RUU KIP, perbedaan-perbedaan tersebut belum terjembatani. Harus dihindari terjadinya kompromi-kompromi politik untuk mempercepat pembahasan RUU KIP yang justru mengurangi atau menegasikan prinsip-prinsip utama kebebasan informasi dan transparansi.
***
Salah satu persoalan yang perlu dikritisi adalah ketentuan sanksi dalam RUU KIP. Di luar kelaziman undang-undang serupa di negara lain, RUU KIP tidak hanya merumuskan ketentuan sanksi untuk pejabat atau badan publik yang melanggar akses informasi terbuka. Tetapi, juga ketentuan sanksi yang secara eksplisit maupun implisit ditujukan kepada publik sebagai pengguna informasi (term pengguna informasi ini pun sebenarnya juga problematis karena secara ontologis, publik adalah pemilik informasi).
Pasal 50 RUU KIP menyatakan, Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan informasi publik dan/atau melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi ......dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 30.000.000,00.... Pada bagian lain, juga dirumuskan sanksi sejenis untuk setiap orang yang sengaja atau tidak menyebabkan informasi yang dikecualikan menjadi terbuka atau menyampaikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan.
Persoalannya, RUU KIP tidak memuat ketentuan ataupun norma yang secara tegas menjelaskan apa penyalahgunaan informasi atau menyampaikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan dan seterusnya.
Muncul kekhawatiran, ketentuan sanksi itu justru akan berdampak negatif terhadap prinsip-prinsip kebebasan informasi dan kebebasan pers.
Sejauh ini, unsur-unsur Komisi I DPR bisa memahami kegelisahan yang muncul dan berkomitmen untuk mengubah ketentuan sanksi di atas. Persoalan utamanya terletak pada sikap pemerintah yang selalu apriori terhadap prinsip-prinsip kebebasan informasi dan kebebasan pers. Sejak awal pemerintah memang mengusulkan rumusan-rumusan sanksi yang lebih berat kepada publik daripada kepada pejabat atau badan publik.
Masalah berikutnya adalah tentang keberadaan Komisi Informasi (KI). Dalam RUU KIP inisiatif DPR, KI dirumuskan sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan pedoman teknis pelayanan informasi publik, dan menyelesaikan sengketa informasi publik.
Persoalan muncul ketika pemerintah menghendaki adanya anggota KI dari unsur pemerintah dan proses seleksi awal atas kandidat anggota KI dilakukan pemerintah. Dua hal yang sudah disepakati DPR dan pemerintah itu tidak sesuai dengan semangat awal untuk menjadikan KI sebagai lembaga yang independen.
Namun, lebih kontraproduktif lagi karena pemerintah menuntut diterbitkannya PP (peraturan pemerintah) tentang petunjuk teknis KI. Dengan mempertimbangkan kompleksitas konflik kepentingan terkait fungsi KI untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan, sejauh ini DPR menolak usul pemerintah tersebut.
DPR juga belajar dari pengalaman PP Penyiaran yang ternyata bertentangan dengan UU Penyiaran dan mereduksi fungsi KPI. Menariknya, pemerintah menganggap PP tentang KI itu sudah menjadi kesepakatan bersama DPR, sementara DPR bersikukuh yang telah disepakati adalah pembentukan 2 PP tentang masa retensi dan pembayaran ganti rugi.
***
Masalah berikutnya yang sangat alot diperdebatkan DPR dan pemerintah adalah masuk tidaknya BUMN dalam gugus badan publik. Pemerintah bersikeras mengeluarkan BUMN dari gugus badan publik dengan alasan BUMN berada dalam rezim bisnis dan keterbukaan informasi akan membunuh daya saing BUMN.
Dari berbagai segi, BUMN jelas termasuk badan publik yang harus tunduk pada rezim keterbukaan informasi. Sejauh undang-undang mendefinisikan BUMN sebagai Badan Usaha Milik Negara, BUMN pasti bukan murni entitas bisnis. Kedudukan dan fungsi BUMN diatur dalam UU, pimpinannya dipilih melalui mekanisme politik. Tak kalah penting, sebagian BUMN menguasai sektor-sektor strategis dan melakukan pelayanan publik langsung.
Jika UU KIP tidak menggolongkan BUMN sebagai badan publik, apa kata dunia? Freedom of Information Act (FOIA) semua negara di bumi ini juga memasukkan state corporation sebagai badan publik. FOIA mengenal pentingnya pengecualian informasi, namun tidak mengenal pengecualian kelembagaan.
Panja RUU KIP juga terbentur oleh kompleksitas perumusan pengecualian informasi di bidang pertahanan dan keamanan. Namun, lebih baik pengesahan RUU KIP ditunda sementara waktu daripada pengesahan itu dipaksakan, lalu kita memiliki UU KIP yang dalam beberapa segi justru bertentangan dengan spirit dan prinsip kebebasan informasi sebagai bagian dari HAM dan hak konstitusional warga negara.
Agus Sudibyo, deputi direktur Yayasan SET Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 Desember 2007