Korupsi Anggaran; Ganjaran buat Orang Terhormat
Gara-gara membengkakkan tunjangan, hampir semua anggota DPRD Sumatera Barat dihukum. Pertimbangannya: rasa keadilan masyarakat.
BERDIRI megah di Jalan Khatib Sulaiman, Padang, gedung yang beratap tanduk kerbau itu tampak lengang. Hanya beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat yang datang pada Rabu pagi pekan lalu. Itu pun, ketika matahari berada di atas ubun-ubun, satu per satu menghilang dari ruangannya.
Ada reses? Sama sekali tidak. Para wakil rakyat Sumatera Barat boleh jadi masih terpukul atas putusan Pengadilan Negeri Padang yang diayunkan dua hari sebelumnya. Dipimpin oleh Bustami Nusyirwan, majelis hakim menyatakan tiga anggota pimpinan DPRD—Arwan Kasri (ketua), Titi Nazif Lubuk (wakil ketua), dan Masfar Rasyid (wakil ketua)—terbukti bersalah. Mereka dinilai menabrak Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Ganjarannya: hukuman 27 bulan dan denda Rp 100 juta, serta diwajibkan mengembalikan uang yang dikorupsinya.
Bukan cuma pimpinan, anggota DPRD Sumatera Barat pun dihukum. Disidang secara terpisah, 40 anggota Dewan dijerat dengan undang-undang yang sama. Mereka akhirnya dihukum masing-masing 2 tahun penjara plus denda Rp 100 juta dan kewajiban mengembalikan duit negara yang berkisar Rp 108 juta hingga Rp 118 juta. Dalam perkara ini, negara dirugikan sekitar Rp 6,4 miliar.
Ratusan mahasiswa yang sudah beberapa hari berkemah di sekitar pengadilan bersorak. Lega pula hati Saldi Isra, Ketua Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB). Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia, hampir seluruh anggota Dewan dinyatakan bersalah, tuturnya. Sejak awal tahun lalu, lembaga yang dipimpinnya memang getol membeberkan dosa para anggota Dewan.
Laporan resmi kepada kejaksaan diajukan FPSB pada Februari 2002. Kalangan anggota DPRD dinilai melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Dalam PP ini digariskan: tunjangan bagi anggota DPRD tidak boleh melebihi 1 persen dari pendapatan asli daerah. Yang terjadi di Sumatera Barat, total tunjangan para anggota Dewan yang terhormat pada APBD 2002 mencapai Rp 10 miliar atau sekitar 7 persen dari pendapatan asli daerah.
Tunjangan itu diwujudkan dalam berbagai jenis, dari dana premi asuransi (Rp 1,6 miliar), pemeliharaan kesehatan (Rp 367 juta), tunjangan kesejahteraan (Rp 1,32 miliar), dan sebagainya. Dengan adanya berbagai macam tunjangan itu, menurut M. Zen Gomo dari Partai Amanat Nasional, pendapatan tiap anggota DPRD Sumatera Barat mencapai Rp 11 juta per bulan. Padahal gaji resminya hanya Rp 6,1 juta. Zen Gomo termasuk tiga dari sejumlah anggota DPRD Sumatera Barat yang tidak dihukum karena tidak menyetujui pembagian tunjangan tersebut.
Berbagai jenis tunjangan itu dimasukkan dalam APBD 2002 dan kemudian disahkan lewat Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2002. Kalangan DPRD Sumatera Barat menganggap langkah yang dilakukan sudah benar karena tidak melanggar Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Bersemangatkan otonomi daerah, undang-undang ini memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur anggarannya sendiri.
Buat memperkuat pendapatannya, DPRD Sumatera Barat juga telah mengajukan judicial review atas PP No. 110 Tahun 2000 kepada Mahkamah Agung. Peraturan pemerintah ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang No. 22/1999 dan perlu dicabut. Hasilnya? Pada September 2002, MA mengabulkan gugatan DPRD Sumatera Barat.
Keputusan MA itu dihormati oleh majelis hakim pengadilan Padang. Itu sebabnya mereka membebaskan para terdakwa dari tuduhan melanggar peraturan pemerintah. Tapi, para terdakwa tidak bisa lolos dari jeratan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Di mata majelis hakim, para anggota DPRD terbukti memperkaya diri sendiri dan merugikan negara.
Diungkapkan oleh majelis hakim, dalam penentuan hukuman pihaknya tidak hanya berdasarkan aturan yuridis, tapi, Juga berdasarkan (aspek) filosofis dan sosiologis dengan memperhatikan rasa keadilan dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat, demikian antara lain pertimbangan hakim.
Ketua DPRD Sumatera Barat, Arwan Kasri, menolak putusan tersebut dan menyatakan banding. Seperti yang saya katakan sebelumnya, perda yang menjadi masalah (Perda No. 2 Tahun 2002) sampai saat ini belum pernah dicabut atau dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri, sehingga unsur melawan hukum yang dituduhkan pada kami tidak mengena, ujarnya berapi-api.
Setelah dinyatakan banding, pengadilan tinggi harus segera menyidangkan kasus ini kembali maksimum 40 hari sejak jatuhnya putusan pengadilan negeri. Itu berarti sekitar akhir Juni. Proses sidang bisa jadi panjang. Untunglah, pada Juli-Agustus nanti anggota DPRD yang baru akan segera dilantik sehingga kinerja DPRD Sumatera Barat tidak terlalu terganggu karena banyak sekali wajah baru yang muncul sebagai wakil rakyat.
Kendati majelis hakim tidak memerintahkan anggota DPRD Sumatera Barat yang terpidana segera masuk penjara, putusan yang menyatakan mereka bersalah patut diacungi jempol. Semoga bisa jadi spirit buat para hakim di daerah lain yang menangani kasus sejenis, kata Saldi Isra.
Andy Marhaendra, Febrianti (Padang)
Sumber: Majalah Tempo, No. 13/XXXIII/24 - 30 Mei 2004