Korupsi Anggaran Jelang Lebaran
Tega benar para pengatur strategi kebijakan penguasa. Harga BBM dinaikkan menjelang Ramadhan, tunjangan DPR dan anggaran kepresidenan ditingkatkan menjelang Lebaran.
Padahal, di tengah mencekiknya harga BBM, bukankah tidak etis kenaikan tunjangan DPR sebesar Rp 10 juta dan peningkatan anggaran lembaga kepresidenan. Meski kenaikan anggaran kepresidenan akhirnya diturunkan, dari 57,7 persen menjadi 11,29 persen. Penurunan itu pun baru terjadi setelah hujan kritik yang menganggap eksekutif tidak bernurani, menaikkan anggaran sendiri di tengah suasana sulit.
Tak tergerak
Lebih menyebalkan adalah para wakil rakyat yang tak tergerak dengan jeritan rakyat bahwa kenaikan tunjangan Rp 10 juta adalah penjarahan uang rakyat. Kenaikan tunjangan ini adalah strategi peningkatan pendapatan anggota DPR, setelah sebelumnya rencana kenaikan gaji mereka ditentang kuat oleh rakyat.
Rupanya, syahwat kekayaan sebagian anggota DPR tidak kendur, ketika publik abai mengingatkan, kenaikan tunjangan menyalip di tikungan pembahasan APBN dan membuat terperangah publik yang kecolongan.
Proses penaikan anggaran itu amat tertutup, karenanya cenderung koruptif. Segala proses pengambilan kebijakan yang ditutup-tutupi, perlu dicurigai sebagai indikasi awal praktik korupsi. Rumusnya, corruption is authority plus monopoly minus transparency. Korupsi amat berpotensi terjadi jika ada kewenangan yang dimonopoli tanpa ada transparansi. Rumus itu amat relevan untuk diterapkan dalam penyusunan APBN.
UUD 1945 memberi monopoli penyusunan APBN kepada presiden dan DPR. Sayang, monopoli kewenangan itu amat rentan diselewengkan. Jika relasi presiden dan parlemen cenderung kolutif, maka amat mungkin anggaran yang dihasilkan menjadi koruptif. Itulah yang terjadi dengan kenaikan tunjangan DPR dan anggaran kepresidenan. Hal sama terjadi dengan kenaikan pendapatan DPRD Jakarta, atau di beberapa daerah lain di Tanah Air. Eksekutif yang mengharap dukungan politik dari legislatif cenderung memanfaatkan penyusunan anggaran tahunan guna