Korupsi, Anggota DPR Divonis Empat Tahun
Kali pertama anggota DPR divonis penjara dalam perkara korupsi. Terdakwanya adalah mantan anggota Komisi IV DPR Saleh Djasit. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor kemarin (28/8), Saleh yang mantan gubernur Riau itu dihukum empat tahun setelah dianggap bertanggung jawab dalam kasus pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran di provinsi yang pernah dipimpinnya.
''Terdakwa terbukti melakukan tindakan korupsi secara bersama-sama,'' ujar Ketua Majelis Hakim Moefri, membacakan amar putusan.
Selain hukuman badan, politikus Partai Golkar itu dikenai denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan tersebut nyaris sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bedanya, majelis tidak mengabulkan tuntutan uang ganti rugi Rp 1,518 miliar.
Dalam putusan yang diambil secara bulat, majelis hakim sepakat bahwa terdakwa tak terbukti memperkaya diri sendiri dalam pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran tipe V-80 ASM. Dengan demikian, sesuai pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdakwa tak dibebani membayar uang pengganti. ''Tuntutan Rp 1,518 miliar harus ditolak karena tidak beralasan,'' ujar anggota majelis I Made Hendra Kusuma.
Namun, Saleh dianggap memperkaya rekanan, yakni PT Istana Sarana Raya (ISR) yang dipimpin Hengky Samuel Daud. Selain itu, sejumlah uang mengalir dari Daud ke sejumlah orang, termasuk mantan Dirjen Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindung Mawardi.
Kerugian negara, menurut perhitungan ahli, dalam perkara tersebut Rp 4,719 miliar, dianggap tak valid. ''Terhadap kerugian negara tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam perkara ini," ujar I Made Hendra Kusuma.
Menurut majelis, meski kerugian negara belum ditentukan pasti, dilihat dari delik formil, akibat tersebut tidak harus terjadi untuk membuktikan sebuah tindak pidana. ''Tindak pidana dalam perkara ini telah selesai dan sempurna,'' ujar hakim asal Bali itu.
Saleh yang duduk tegak mendengarkan pembacaan putusan dianggap terbukti melakukan tindak pidana sesuai dakwaan primer, yakni pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.
Dari fakta yang terungkap dalam persidangan, gubernur Riau periode 1999-2003 itu melaksanakan pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran tipe V-80 ASM yang dibiayai APBD Riau Rp 15,2 miliar dengan cara penunjukan langsung. Terdakwa dianggap melanggar aturan pengadaan barang dan jasa dalam Keppres No 18 Tahun 2000. ''Di luar kewenangan sesuai jabatan sebagai gubernur. Terdakwa seharusnya tidak membuat disposisi awal,'' ujar anggota majelis Sutiyono. Pengadaan yang dianggarkan 10 unit diubah menjadi 20 unit oleh terdakwa atas permintaan Hengky.
Usul bawahan terdakwa untuk mengadakan proses tender mobil pemadam kebakaran tersebut sesuai fakta persidangan tidak diindahkan. Dalam putusannya, majelis hakim menepis dalih terdakwa bahwa penunjukan langsung dilakukan karena kondisi yang mendesak akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau. ''Tidak diperoleh fakta hukum bahwa kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada 2003 sebagai bencana nasional. Apalagi, pengadaan itu sudah dianggarkan pada 2003,'' ujar anggota majelis Anwar.
Mendengar putusan hakim, Saleh tampak gusar. Senada dengan JPU, dia lantas memutuskan untuk pikir-pikir atas putusan hakim. Sesudah persidangan, pria berkemeja biru muda itu menghampiri tim JPU yang dipimpin Rudi Margono. ''Selamat,'' ujarnya, tersenyum lemas, sambil menyalami tim JPU.(ein/agm)
Sumber: Jawa Pos, 29 Agustus 2008