Korupsi Anggota DPRD Terjadi dari Sabang sampai Merauke [15/08/2004]
MENGURAS uang negara tampaknya menjadi salah satu tujuan dari sebagian kalangan politisi yang berebut kursi di lembaga wakil rakyat, tak terkecuali di daerah-daerah. Uang negara yang mereka 'tilap' mencapai Rp391,687 miliar, dari 63 kasus yang terungkap.
Tidak tanggung-tanggung, perilaku korupsi yang dilakukan wakil rakyat itu terjadi di hampir semua provinsi dari Sabang sampai Merauke. Mulai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Bali, NTB, NTT, hingga Maluku Utara.
Berdasarkan data yang diolah oleh Informasi Publik Indonesia Corruption Wacth (ICW) terungkap, dari kerugian negara yang mencapai Rp391,687 miliar tersebut, Provinsi Jawa Barat berada di urutan pertama terbanyak kasus korupsi, mencapai 13 kasus dengan jumlah kerugian negara Rp102,033 miliar, disusul Jawa Timur dengan tujuh kasus senilai Rp30,497 miliar dan Jawa Tengah lima kasus senilai Rp53,139 miliar.
Dari data Kejaksaan Agung tercatat 269 anggota DPRD tingkat I dan II di seluruh Indonesia diduga terkait kasus korupsi. Mereka telah dipanggil dan diperiksa oleh kepolisian. Kejaksaan Tinggi di tujuh provinsi juga sudah melakukan penyidikan.
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Mappi) mencatat sebanyak 340 anggota DPRD sedang dalam proses pengadilan. Kasusnya mulai dari melakukan tindak pidana korupsi, pelecehan seksual, narkoba, perjudian, hingga kebebasan seks.
Dugaan korupsi di akhir masa jabatan anggota DPR adalah kasus perjalanan anggota Komisi VIII ke Hong Kong, yang dibiayai PT Pertamina. Perjalanan itu untuk studi kelayakan penjualan tanker Pertamina. Dalam kasus ini kerugian negara Rp1,5 miliar.
Kasus anggota DPR lainnya yang sempat mencuat adalah kasus suap anggota DPR oleh BPPN untuk divestasi Bank Niaga, kasus traveler check, dan isu uang dalam divestasi BCA, dan money politics dalam penyelesaian kasus BLBI di DPR.
Dari provinsi paling ujung barat Indonesia, NAD, kasus korupsi yang diduga melibatkan sembilan anggota dewan sudah terkuak. Tiga berkas di antaranya, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh.
Kesembilan anggota Dewan tersebut ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Keudah. Mereka adalah M Amin Said (Ketua DPRD Banda Aceh), Muntasir Hamid, Razali Ahmad (keduanya Wakil Ketua DPRD), Tgk Zubir Idris (Ketua Fraksi PBB), Anas Bidin (Ketua Komisi B dari Fraksi PAN), Amri M Ali (Ketua Fraksi PPP), Fadhiel Amin (Ketua Fraksi Partai Golkar), Dahlan Yusuf (Ketua Fraksi Gabungan Nasional dari PDIP), dan Tjoet Ali Umar (Fraksi PAN).
Dari tiga berkas perkara yang sudah berada di PN Banda Aceh itu merupakan kasus tindak pidana korupsi dana APBD senilai Rp5,6 miliar. Berkas perkara pertama atas nama terdakwa M Amin Said, berkas kedua atas nama Amri M Ali dan Dahlan Yusuf, sedangkan berkas ketiga atas nama Tgk Zubier Idris, Fadhiel Amin, dan Tjut Ali Umar.
Sebagai barang bukti, kejaksaan menyerahkan uang sebesar Rp125 juta, yang disimpan terdakwa Amin Said di salah satu bank pemerintah.
Ketika dakwaan terhadap Amin Said dibacakan penuntut umum Syahnan Tanjung, Nilawati, Cut Novi Andayani, dan Sri Wahyuni, akhir pekan lalu, terungkap bahwa terdakwa menyiasati cara pengadaan mobil dengan sistem kredit sewa beli.
Mengingat dana APBD 2002 dari pos biaya tak tersangka hanya Rp2,5 miliar, terdakwa mengakali eksekutif berupa perjanjian sewa beli dengan dealer Auto 2000 Medan, ungkap jaksa di hadapan Majelis Hakim pimpinan Syafaruddin Nasution.
Amin Said didakwa melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup.
Sementara itu Ketua Pengadilan Negeri Banda Aceh Syafaruddin Nasution berjanji akan menuntaskan perkara korupsi yang melibatkan keenam anggota Dewan tersebut. Kami akan berupaya mengadilinya, seadil-adilnya, katanya meyakinkan.
Seperti diketahui, dana APBD Kota Banda Aceh diselewengkan keenam tersangka itu digunakan untuk membeli 28 unit mobil pribadi. Dari 30 orang anggota DPRD, 28 orang di antaranya telah menerima dana tersebut dan dua di antaranya menolak. Ke-23 tersangka lainnya telah menyerahkan barang bukti berupa 18 unit mobil Toyota Kijang kapsul, dua unit sedan, dua unit Opel Blazer, dan uang tunai Rp250 juta. Dua lainnya meninggal sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Kasus tindak pidana korupsi itu terjadi pada April 2002, ketika DPRD Kota Banda Aceh mengirim surat kepada wali kota setempat. Surat bernomor 024/0775 itu berisi permintaan bantuan dana uang muka kredit pembelian 30 unit mobil. Permintaan itu diakomodasi dalam APBD Kota Banda Aceh tahun 2002.
Kemudian, DPRD mengirim surat kedua pada 14 Juni 2002 yang tanpa nomor registrasi dan tanpa stempel DPRD, namun ditandatangani ketua, wakil ketua, dan para ketua fraksi. Disusul surat ketiga bernomor 900/1375/ 2002 itu berstempel Ketua DPRD Kota Banda Aceh yang juga ditandatangani Wakil Ketua Razali Ahmad.
Kasus korupsi juga mewarnai lembaga legislatif di Sumatra Selatan (Sumsel). Mantan Ketua DPRD Sumsel Adjis Saip, saat ini tengah menunggu vonis dari PN Palembang, karena terlibat kasus korupsi dana APBD 2003 senilai Rp7,5 miliar.
Tokoh PDI Perjuangan Sumsel itu menjadi satu-satunya anggota Dewan yang menjadi terdakwa kasus korupsi tersebut. Padahal 74 orang anggota Dewan lainnya pun diduga telah menerima dana operasional masing-masing Rp100 juta. Dari 75 orang anggota DPRD Sumsel, hanya satu orang dari Partai Keadilan Sejahtera, Yuzwar Hidayatullah yang tidak menerima.
Dua orang Wakil Ketua DPRD Sumsel, Zamzami Achmad dan Natsir Djakfar, serta Wakil Ketua Komisi B Ansyori Manahan segera menyusul. Pasalnya, mereka tengah berurusan dengan Polda Sumsel dalam kasus dugaan korupsi surat perintah jalan (SPJ) fiktif.
Menanggapi adanya kasus korupsi di tubuh DPRD Palembang, pakar hukum tata negara dari Universitas Sriwijaya Prof Abu Daud Busroh mengatakan, kinerja DPRD Sumsel hasil Pemilu 1999 paling buruk sepanjang sejarah legislatif di daerah ini. Mereka hanya memperkaya diri sendiri.
Dia menilai forum laporan pertanggungjawaban (LPJ) gubernur setiap tahun menjadi ajang penekanan terhadap eksekutif, yang ujung-ujungnya bagi-bagi proyek.
Penilaian serupa juga disampaikan mantan Wakil Gubernur Sumsel Thobroni HS. Menurut dia, sikap kritis anggota Dewan itu berujung minta proyek. Mereka berkoar-koar di koran, tapi ujung-ujungnya minta proyek kepada gubernur, kata Thobroni emosi.
Dia mengungkapkan, ada investor proyek Palembang Square yang melakukan ruilslag dengan Pemprov Sumsel, dan anggota Dewan getol menggugat. Tapi diam-diam mendekati pengusahanya, kata Thobroni blak-blakan.
Dibatalkan
Berdasarkan data dari informasi publik ICW terungkap, di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, juga terjadi kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ketua DPRD setempat Darly Yusuf. Nilainya mencapai Rp46,6 miliar, bersumber dari anggaran 2001-2002. Angka tersebut merupakan jumlah terbesar dibandingkan dengan 62 kasus lainnya.
Namun kasus ini tidak sampai ke meja hijau, sebab Kejari Bontang tidak menetapkan adanya tersangka dalam kasus tersebut. Dimana dasar rujukan pemeriksaan yang dilakukan Kejari Bontang adalah PP No 11/2000.
Kasus lain yang dibatalkan adalah dugaan korupsi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, senilai Rp3,1 miliar. Dana itu digunakan untuk membiayai perjalanan haji ke-15 anggota DPRD setempat.
Sama halnya dengan Kutai Timur, dasar hukum yang digunakan untuk menjerat kasus ini adalah PP No 11/2000, padahal PP tersebut sudah dicabut oleh Mahkamah Agung karena bertentangan dengan UU No 22/1999.
Sementara itu, kasus korupsi yang baru terungkap adalah dugaan penyelewengan dana rutin sebesar Rp9 miliar yang dilakukan anggota DPRD Depok, Jawa Barat.
Saat ini, Polda Metro Jaya sedang mengumpulkan bukti-buktinya. Kami sudah memeriksa hampir semua saksi, kata Kepala Satuan Reserse Tindak Pidana Korupsi Polda Metro Jaya AKB Anton Wahono ketika dihubungi Media, Rabu (12/8) lalu. Namun, Anton mengaku belum ada satu pun anggota Dewan yang diperiksa. Sebab, izin pemeriksaan dari Gubernur Jawa Barat Dani Setiawan belum keluar.
Koordinator Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Mappi) Tommi A Legowo mengatakan, kelakuan anggota Dewan tersebut sangat mengecewakan masyarakat dan merupakan pengkhianatan terhadap rakyat. Memang belum ada penelitian mengenai menyebab anggota Dewan melakukan korupsi. Tetapi, diduga karena hilangnya komitmen untuk menjadi abdi masyarakat yang baik.
Koordinator ICW Teten Masduki menegaskan, mayoritas elite politik yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif sekarang tidak bisa diharapkan menjadi pelopor pemberantasan korupsi di Indonesia. Karenanya, dibutuhkan perubahan struktur politik dan ekonomi oleh generasi baru yang memiliki kejujuran dan secara materiil tidak memiliki halangan untuk melakukan perubahan. (Sdk/HP/AY/FL/SS/JI/M-4)
Sumber; Media Indonesia, 5 Agustus 2004