Korupsi (Atas Nama) Partai
Rasanya tidak ada partai politik di Indonesia yang secara resmi memerintahkan kadernya untuk melakukan tindak pidana korupsi yang kemudian harus disetor ke partainya. Yang ada, partai tutup mata atas sumbangan kadernya, seberapa pun besarnya. Partai pada umumnya juga tidak pernah mempertanyakan asal-usul kontribusi dari kadernya. Konon, partai tidak boleh berburuk sangka terhadap kadernya sendiri, kendati jumlah dana yang disetor tidak masuk akal. Biasanya, kader yang banyak memberi dana untuk partai akan mendapat "reward", misalnya akan mendapat prioritas kalau ada lowongan jabatan di kelengkapan DPR, masuk panitia khusus yang menarik, jabatan di internal partai, atau nomor bagus calon anggota legislatif dalam pemilihan umum.
Dengan demikian, yang diungkapkan oleh Indra Jaya, Kepala Bidang Pelaksana Jalan, Tata Ruang, dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat, sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 10 Oktober 2016, merupakan hal yang biasa. Dalam kesaksiannya, Indra mengungkapkan bahwa uang Rp 500 juta yang diterima anggota Komisi III DPR RI, Putu Sudiartana, tidak hanya sebagai imbalan agar dana alokasi khusus (DAK) Provinsi Sumatera Barat dapat dicairkan, tapi juga untuk menyumbang Partai Demokrat.
Tentu kasus seperti ini tidak hanya melanda Partai Demokrat. Partai politik lainnya tak tertutup kemungkinan mengalami hal yang sama. Dengan alasan besarnya biaya yang diperlukan untuk menggerakkan roda partai, para kader partai di pusat ataupun daerah diimbau untuk memberikan kontribusi dana. Partai seolah-olah melegalkan pencarian dana dengan cara-cara yang ilegal. Sikap permisif seperti inilah yang kemudian biasa dijadikan alasan atau dimanfaatkan kader partai di legislatif ataupun eksekutif untuk mengkorupsi uang negara.
Menurut Undang-Undang Partai Politik, sumber keuangan partai adalah iuran anggota, penyumbang, dan bantuan negara. Sejak warga negara dibebaskan mendirikan partai politik menjelang Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009, belum ada satu pun partai yang berhasil mengumpulkan iuran anggota. Kebanyakan dana datang dari para penyumbang, baik penyumbang perseorangan maupun badan usaha. Namun, jika daftar penyumbang partai dan daftar penyumbang dana kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum ditelusuri, jumlah dana yang dilaporkan tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan perkiraan biaya riil partai per tahun atau biaya kampanye pada masa pemilu.
Selama ini semua partai di Indonesia sebenarnya sudah memiliki sumber dana yang tetap, seperti dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, iuran para anggota legislatif di DPR ataupun DPRD, juga kontribusi dari calon-calon kepala daerah yang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah. Selain itu, sumbangan para pengusaha yang bersimpati terhadap partai politik yang bersangkutan.
Jumlah iuran yang dikenakan partai terhadap anggota legislatif dan pejabat eksekutif bervariasi. Biasanya 15–30 persen dari persentase gaji bersih legislator. Untuk pejabat eksekutif, seperti menteri dan para kepala daerah, biasanya tidak menggunakan persentase, melainkan nominal tertentu, tergantung potensi ekonomi daerah.
Sumbangan dari para calon kepala/wakil kepala daerah, yang biasa disebut "mahar", juga sering bermasalah. Tiap-tiap partai sering mematok jumlah yang sangat besar dan memberatkan para calon. Apalagi bagi calon yang memerlukan banyak partai untuk memenuhi syarat pencalonan, jumlah "mahar" yang harus disetor sang calon kadang kala tidak masuk akal.
Bantuan APBN untuk partai berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 jo Peraturan Pemerintah No. 83/2012 tentang Bantuan Kepada Partai Politik sebesar Rp 108 per suara. Jumlah ini dinilai banyak pihak terlalu kecil. Sebagai perbandingan, pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, APBN memberikan sumbangan Rp 1.000 setiap suara yang diperoleh partai. Karena itu, belakangan ini muncul wacana untuk menaikkan jumlah dana APBN terhadap partai. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyetujui gagasan bantuan APBN terhadap partai diperbesar.
Tujuan bantuan keuangan untuk partai politik adalah menjaga kemandirian partai. Jika kebutuhan dana partai lebih banyak dipenuhi para penyumbang, partai cenderung memperhatikan kepentingan penyumbang daripada kepentingan anggota atau rakyat dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Apabila hal ini terjadi, posisi dan fungsi partai sebagai wahana memperjuangkan kepentingan anggota atau rakyat menjadi tidak nyata.
Di sisi lain, pemberian dana dari negara terhadap partai dimaksudkan agar para kader tidak mencari dana secara liar dengan mengatasnamakan partai. Rasanya tidak mungkin mereka nekat melakukan korupsi hanya demi partai tempat mereka bernaung. Pada diri mereka sudah ada niat untuk berbuat jahat dan kebetulan ada peluang yang dibukakan oleh partai. Seperti yang sering "dinyanyikan" oleh Nazaruddin, mantan anggota DPR dari Partai Demokrat, kader dan partai secara simbiosis mutualisme sama-sama mempunyai andil dalam tindak pidana korupsi itu. Andai pengadilan kita sudah menerapkan ketentuan kejahatan korporasi dengan baik, kader ataupun pemimpin partai sama-sama dapat dijatuhi hukuman pidana.
Mandeknya pembicaraan tentang besaran bantuan negara terhadap partai saat ini terjadi ada kemungkinan karena berkaitan dengan defisit APBN kita. Tetapi, dengan semakin sering terungkapnya korupsi oleh kader partai atas nama kepentingan partai, kiranya pembicaraan masalah ini menjadi semakin relevan. Yang penting dan mesti menjadi perhatian, pemberian bantuan itu harus disertai dengan aturan yang ketat tentang tata kelola, transparansi, dan pengawasan penggunaan dana. Jangan sampai subsidi dari negara yang sudah diperbesar itu yang justru dikorup para kader partai, walaupun dengan cara-cara itu belum ada jaminan bahwa ini akan menghentikan korupsi untuk dan atas nama partai.
Imam Anshori Saleh
Mantan Anggota DPR
--------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 24 Oktober 2016 dengan judul "Korupsi (Atas Nama) Partai".