Korupsi atau Bukan?
Kawan-kawan pedagang tradisional di Pasar Blok M tergusur akibat pembangunan Blok M Square. Jumlah mereka yang mencapai sekitar 1.500 pedagang itu tergusur karena tidak mampu membayar harga yang ditentukan oleh pihak pengembang atau developer. Harga jual rata-rata yang ditentukan secara sepihak oleh pengembang dan disetujui oleh PD Pasar Jaya sekitar Rp 45 juta per meter persegi, termurah Rp 16 juta/m2 dan termahal Rp 60 juta/m2.
Biaya pembangunan gedung itu menurut pejabat PD Pasar Jaya adalah Rp 494,7 miliar dengan luas 158.224 m2, Biaya per m2 adalah Rp 3.126.568. Dengan memperhitungkan bahwa 30 persen luas lantai adalah untuk sirkulasi, toilet, dan fasilitas umum lainnya, maka biaya pembangunan dianggap Rp 4,5 juta/m2.
Kita juga perlu melihat fakta lain yaitu bahwa para pembeli kios baru harus membayar uang muka sebesar 30 persen dari harga rata-rata Rp 45 juta = sekitar Rp 13,5 juta/m2, yang dibayar selama 18 bulan. Kalau kita lihat bahwa biaya rata-rata hanya Rp 4,5 juta/m2, maka kalau pembeli membayar Rp 13,5 juta/m2, berarti pengembang tidak mengeluarkan biaya yang berarti, bahkan sudah memperoleh kelebihan biaya Rp 9 juta/m2.
Untuk Pasar Tanah Abang, harganya lebih dahsyat lagi. Harga kios per m2 yang ditentukan di salah satu blok di sana mencapai Rp 240 juta-Rp 480 juta, atau rata-rata sebesar Rp 360 juta/m2. Kalau biaya pembangunan kita anggap sama, yaitu Rp 4,5 juta/m 2, maka harga itu sekitar 85 kali biaya pembangunannya. Kalau pengembang juga memungut uang muka 30 persen, uang muka yang diterima adalah Rp 108 juta/m2 atau 24 kali biaya pembangunan.
Angka-angka
Dari angka-angka di atas, pada pembangunan Blok M Square terdapat selisih dana yang amat besar, lebih dari Rp 4 triliun, yang tidak jelas penggunaannya. Di Pasar Tanah Abang tentu lebih besar lagi. Uang itu adalah uang warga masyarakat yang menjadi pedagang. Berarti itu merugikan masyarakat. Masyarakat juga dirugikan karena dengan pembelian kios semahal itu, maka pedagang akan menjual barangnya lebih mahal.
Para pedagang telah melaporkan adanya dugaan korupsi pada proyek Blok M Square kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atas permintaan KPK, tengah melakukan audit untuk mengetahui apakah terdapat kerugian negara. Kita berharap, BPK akan dapat mengidentifikasi dengan cermat kerugian negara. Seandainya BPK menemukan adanya kerugian negara, maka laporan dugaan adanya korupsi itu bisa ditindaklanjuti oleh KPK.
Namun, seandainya BPK berkesimpulan bahwa tak ada kerugian negara, maka berarti KPK tidak akan menindaklanjuti laporan tersebut dan itu berarti secara hukum tidak terjadi tindak pidana korupsi. Kalau demikian, sangat layak kalau kita mengajukan pertanyaan, apakah benar tidak ada korupsi? Bukankah wajar kalau ada yang menduga terdapat penyalahgunaan kekuasaan dalam kasus ini, karena muncul banyak pertanyaan tentang berbagai hal, yang tidak terjawab.
Mengapa setelah dibangun kembali, harga rata-rata ditentukan secara sepihak sebesar Rp 45 juta/m2.
Padahal, menurut para pedagang, mereka secara bersama mampu membangun kembali pasar itu, asal diberi kepercayaan oleh PD Pasar Jaya. Prinsip good corporate governance tidak diterapkan oleh PD Pasar Jaya.
Kehilangan hak
Para pedagang itu telah kehilangan hak mereka untuk memperoleh pekerjaan karena tidak mampu membeli kios yang harganya tidak wajar dan terlalu mahal. Bagi para aktivis HAM, itu berarti hak asasi manusia yang mereka punyai dan dijamin Pasal 28 D (2) UUD 1945 dan Pasal 38 (1) UU No 39/1999 tidak dilindungi oleh pemerintah, dalam hal ini adalah PD Pasar Jaya dan juga Pemprov DKI/Gubernur. Padahal, pemerintah adalah pihak yang harus menghormati dan melindungi HAM, sesuai ketentuan Pasal 28 D (4) UUD 1945 dan Pasal 71 UU No 39/1999. Gubernur DKI dapat dianggap membiarkan terjadinya pelanggaran HAM oleh Direksi PD Pasar Jaya.
Kalau UU dianggap bertentangan dengan UUD, siapa pun bisa mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Kalau bukan UU, seperti keputusan Direktur Utama PD Pasar Jaya, tidak bisa diajukan kepada MK. Bisa diajukan ke Mahkamah Agung, tetapi tampaknya banyak orang berpendapat bahwa tidak efektif untuk mengajukannya ke Mahkamah Agung. Para pedagang Blok M yang terlanggar HAM-nya telah mengajukan masalah itu ke PTUN, tetapi tidak berhasil.
Sungguh tragis, kalau keputusan direksi sebuah perusahaan daerah (dalam hal ini PD Pasar Jaya) yang merugikan masyarakat dalam jumlah amat besar, yang seharusnya bisa dianulir oleh atasannya (dalam hal ini Gubernur DKI), dan sungguh dapat dianggap melanggar UUD, tidak dapat dikenakan tindakan apa pun dan juga tidak dapat dicegah. Bagaimana kita akan bisa memperbaiki negara kita?
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tulisan ini disalin dari Kompas, 18 Desember 2007