Korupsi Bank bali; Joko Tjandra Berada di Papua Niugini
Joko Soegiarto Tjandra, terpidana dua tahun penjara dalam perkara korupsi cessie atau pengalihan piutang Bank Bali, ternyata telah bepergian ke Port Moresby, Papua Niugini. Ia meninggalkan Indonesia pada Rabu, 10 Juni 2009 malam.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M Jasman Panjaitan, Kamis (18/6) di Jakarta, yang memaparkan hasil koordinasinya dengan Direktorat Jenderal Imigrasi, menunjukkan, Joko yang berpaspor nomor P806888 berangkat ke Papua Niugini bersama dua rekannya berinisial IG dan HS. Pesawat yang diawaki warga negara asing itu merupakan pesawat carter atau sewaan CL 604 dengan nomor penerbangan N 720 AS, yang berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Padahal, lanjutnya, Mahkamah Agung memutuskan perkara Joko berkaitan dengan cessie Bank Bali pada 11 Juni 2009. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan juga menerima surat permintaan penundaan eksekusi yang ditandatangani pengacara dari kantor advokat OC Kaligis.
Meski demikian, menurut Jasman, jaksa tetap mengupayakan eksekusi Joko dilakukan segera.
Patuhi putusan MA
Secara terpisah, Kamis di Jakarta, Ketua MA Harifin A Tumpa menegaskan, semua pihak harus mematuhi putusan MA dalam perkara peninjauan kembali pengalihan hak tagih piutang Bank Bali. Putusan tersebut mengikat semua orang.
Hal itu dikemukakan Harifin seusai penandatanganan nota kesepahaman dengan Menteri Negara Lingkungan Hidup terkait penegakan hukum lingkungan.
Sebelumnya MA, dalam putusan PK-nya, menyatakan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin dan Direktur Utama PT Era Giat Prima Joko S Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama. Terkait dengan hak tagih piutang yang disimpan di rekening penampung (escrouw account) itu, MA memerintahkan dana itu dirampas oleh negara.
Terkait dengan hal tersebut, Harifin mengatakan, persoalan eksekusi itu sebenarnya persoalan jaksa. ”Terserah jaksa mau menggunakan apa, apakah menggugat perdata atau lainnya. Hanya, putusan MA itu mengikat semua orang,” ujarnya lagi.
Terkait putusan PK dari MA tersebut, Syahril, Selasa mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menjalani hukumannya. Ia dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Joko tak dapat dieksekusi.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy menegaskan, kalau tidak memenuhi panggilan jaksa untuk menjalani hukumannya, Joko akan rugi sendiri. Joko punya aset dan usaha di Indonesia yang tak kecil. (ana/idr)
Sumber: Kompas, 19 Juni 2009
{mospagebreak title=Djoko Tjandra Kabur ke Papua Nugini}
Djoko Tjandra Kabur ke Papua Nugini
Kejagung Meminta Djoko Tjandra Menyerah
Aparat kejaksaan harus bekerja ekstra keras untuk mengeksekusi Djoko Sugiarto Tjandra, terpidana kasus korupsi dana hak tagih (cessie) Bank Bali Rp 546 miliar. Bos Grup Mulia itu tidak lagi berada di Indonesia, namun bersembunyi di Papua Nugini.
Djoko pergi ke Port Moresby, Papua Nugini, menggunakan pesawat carter dari operator Tag Avia dengan nomor penerbangan CL604. Dia berangkat 10 Juni atau sehari menjelang Mahkamah Agung (MA) memutus peninjauan kembali (PK) kasusnya. Pengusaha yang pernah disebut Artalyta Suryani alias Ayin dengan nama Joker itu terbang melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, bersama dua rekannya. Djoko pergi dengan menggunakan paspor bernomor P 806888.
''Dia (Djoko) pergi dua hari setelah putusan PK Syahril Sabirin dan sehari sebelum putusan PK atas nama Djoko Tjandra (keluar),'' kata Kapuspenkum Kejagung Jasman Pandjaitan menyampaikan informasi tentang Djoko Tjandra tadi malam.
Putusan PK keduanya disampaikan Mahkamah Agung dalam keterangan pers pada Kamis (11/6). Namun, Jasman tak mau berspekulasi apakah Djoko telah mendapatkan informasi lebih awal tentang putusan PK Syahril. ''Langkah selanjutnya belum bisa dipastikan. Informasi baru kami terima,'' ujar mantan kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur itu.
Djoko seharusnya sudah meringkuk di sel Lapas Cipinang bersama terpidana lain, yakni mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin. Syahril sendiri memilih kooperatif dengan memenuhi panggilan kejaksaan sekaligus bersedia dieksekusi pada 16 Juni lalu.
Tim jaksa sebelumnya berusaha mengawasi gerak-gerik Djoko. Termasuk mendatangi rumah mewahnya di kawasan Simprug Golf, Jakarta Selatan, yang ternyata kosong.
Saat Djoko berada di Papua Nugini, kuasa hukumnya, O.C. Kaligis, meminta penundaan eksekusi. Permintaan itu terungkap dari surat yang dikirim melalui Kejari Jakarta Selatan. ''Tapi, tidak tahu sampai kapan (penundaannya),'' kata Jasman.
Djoko merupakan terpidana kasus Bank Bali yang diputus dua tahun penjara dalam putusan PK. Pemohon PK adalah kejaksaan. Dalam amar putusan, pemilik Hotel Mulia itu juga diharuskan untuk membayar denda Rp 15 juta subsider 3 bulan. Djoko tidak sendiri. MA sebelumnya juga memberikan hukuman yang sama kepada Syahril Sabirin.
Di tempat terpisah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy mengatakan, berdasar informasi yang diperoleh sebelumnya, tidak ada di catatan Imigrasi bahwa Djoko bepergian ke luar negeri. Namun, Marwan berpendapat, Djoko belakangan berada di luar negeri. ''Dia menggunakan jalur-jalur tradisional,'' kata Marwan di gedung Kejagung kemarin.
Dia memperkirakan, Djoko menjadikan dua negara sebagai tujuan kepergiannya ke luar negeri. Yaitu, Papua Nugini dan Singapura. Alasan itu didasari adanya saudara Djoko yang tinggal di sana. Selain itu, alasan bisnis yang dilakukan Djoko di dua negara tetangga Indonesia itu menjadi pertimbangan. ''Kami tetap melacak di mana keluarganya,'' jelas mantan Kapusdiklat Kejagung itu.
Hingga kini, kejaksaan memberikan waktu bagi Djoko untuk memenuhi panggilan kedua yang dijadwalkan Senin (22/6). ''Kalau mentok usaha kami, (penanganannya) akan diserahkan ke tim pemburu koruptor,'' urai Marwan.
Hingga kini, kejaksaan memberikan waktu bagi Djoko untuk memenuhi panggilan kedua yang dijadwalkan Senin (22/6). ''Kalau mentok usaha kami, (penanganannya) akan diserahkan ke tim pemburu koruptor,'' urai Marwan.
Terkait dengan uang Rp 546 miliar, Marwan menegaskan, sesuai dengan putusan MA, uang tersebut dirampas untuk negara. Pihaknya sudah memerintah tim untuk melakukan penjajakan terhadap Bank Permata, tempat uang itu disimpan dalam rekening penampungan. "Kalau (Bank Permata) tidak mau, ada instrumen hukumnya. Bisa dikenai pasal penggelapan karena statusnya titipan," tegas mantan kepala Kejaksaan Tinggi Jatim itu.
Terpisah, Direktur Penyidikan Direktorat Jenderal Imigrasi Muchdor mengakui bahwa Kejagung telah meminta pihaknya untuk mencegah keluarnya Djoko Tjandra di pintu pemeriksaan imigrasi. Namun, permintaan itu diajukan mulai 11 Juni 2009. "Sampai tanggal 18 tidak ada nama Djoko Tjandra yang ke luar negeri di data kami," ujarnya.
Muchdor mengaku mencari data Djoko Tjandra itu di 25 pintu pemeriksaan imigrasi yang tersebar di seluruh tanah air. "Kami juga mengecek di lima pintu pemeriksaan yang besar. (Di sana) nama Djoko tidak tercatat," ungkapnya. Namun, apabila melalui pintu ilegal, imigrasi mengaku kesulitan mengawasi. "Karena wilayah negara kita amat luas," terangnya.
Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menduga, kaburnya Djoko pada 10/6 disebabkan dia sudah mendapatkan informasi soal keluarnya putusan peninjauan kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA). Waktu itu, Djoko masih bebas ke luar negeri karena statusnya belum terpidana. "Kalau perginya bulan Mei, masih sulit mengaitkan dengan putusan. Ini sehari sebelum putusan keluar. Bisa jadi, dia dapat informasi entah dari mana," terangnya.
Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Susno Duadji menyatakan siap membantu upaya kejaksaan menangkap Djoko. "Kita juga cari," ujar jenderal bintang tiga itu di kantornya kemarin. Apakah sudah ada permintaan resmi dari Kejagung? Susno menggeleng. "Tapi, kita tahu soal itu," kata mantan Kapolda Jawa Barat tersebut.
Berdasar informasi yang dihimpun koran ini, sejumlah penyidik Direktorat II/Ekonomi Khusus sudah diberi brifing untuk menangkap Djoko. Namun, mereka belum bergerak karena polisi tak ingin melangkahi kejaksaan. Tanpa permintaan surat resmi untuk operasi bersama, penyidik kepolisian tidak mungkin melakukan langkah inisiatif. Yang sudah dilakukan adalah berkoordinasi dengan Interpol karena sekretariat NCB Interpol saat ini dipegang polisi, yakni Brigjen Halba Rubis Nugroho.
Djoko Tjandra merupakan pengusaha kelahiran Sanggau, 27 Agustus 1950. Dekade 1990-an, Grup Mulia makin moncer saat dipegang Djoko. Bapak empat anak yang pintar ngomong itu menjadi komandan utama pada kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center.
Grup Mulia menaungi 41 anak perusahaan di dalam dan luar negeri. Selain properti, grup yang pada 1998 memiliki aset Rp11,5 triliun itu merambah sektor keramik, metal, dan gelas.
Djoko juga dikenal sebagai bos PT EGP. Yakni, sebuah perusahaan yang didirikan Djoko dan tokoh Golkar Setya Novanto. Dalam kasus cessie Bank Bali, Djoko dibebaskan dari segala tuntutan di tingkat pengadilan negeri. Lalu, akhir 2001, MA membebaskan dia dari keterlibatan kasus Bank Bali. Pengusaha itu dibebaskan dari dugaan melakukan suap dalam pencairan piutang Bank Bali.
Nama Djoko juga dikenal sebagai Joker. Hal itu terungkap dalam percakapan antara Artalyta Suryani dengan Kemas Yahya Rahman semasa menjabat jaksa agung muda (JAM) pidana khusus. (fal/git/rdl/agm)
Sumber: Jawa Pos, 19 Juni 2009