Korupsi BPR Karangmalang, Bupati Sragen Diduga Terlibat
Bupati Sragen Agus Fatchur Rahman ikut terseret dalam kasus dugaan korupsi dana pinjaman kredit BPR /BKK Karangmalang dan Djoko Tingkir. Agus disebut-sebut menerima dana total Rp 1,145 miliar semasa menjabat sebagai Wakil Bupati Sragen.
Dari data yang didapatkan Suara Merdeka, terdapat 13 aliran dana yang diterima Agus Fatchur Rahman sejak 2003 hingga 2006. Besarannya dari paling kecil Rp 10 juta hingga Rp 242 juta dengan total Rp 1.145.500.000.
Hampir semua transaksi keuangan tersebut tercatat dengan bukti kuitansi dan memo dengan tanda tangan Agus sendiri yang ditujukan kepada Koeshardjono sebagai kepala BPKD Sragen. Sebelum menjadi Sekda, Koeshardjono pernah menjabat Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Sragen tahun 2001-2004.
Kuasa hukum Koeshardjono, Yohanes Winarto, mengatakan dia juga memiliki data adanya aliran dana Rp 200 juta dari kliennya kepada Agus. Sebagian dari dana yang diterima Agus itu diduga digunakan untuk kepentingan Pilkada Sragen 2011.
“Benar dana itu diterima dia (Bupati Agus-red),” kata Winarto saat mendampingi Koeshardjono yang kembali diperiksa penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah, Selasa (19/7) kemarin.
Agus Fatchur Rahman menjabat sebagai wakil bupati Sragen periode 2005-2010 mendampingi Bupati Untung Wiyono. Menurut Winarto, selain dipakai untuk pemenangan Pilkada, dana APBD itu juga digunakan untuk alokasi dana taktis dan keperluan di luar kedinasan. Di antaranya untuk kebutuhan mendesak, dana purnabakti DPRD Sragen, hingga pagelaran wayang.
“Klien kami (Koeshardjono) hanya menjalankan perintah atasan saja,” kata Winarto.
Kasus ini bermula dari pendepositoan kas daerah Sragen ke Perusda BPR Djoko Tingkir dan BPR Karangmalang sejak 2003. Di BPR Djoko Tingkir, dana dimasukkan secara bertahap sebanyak 38 kali dengan jumlah keseluruhan Rp 29 miliar.
Deposito tersebut kemudian dijadikan jaminan kredit dengan bukti 108 surat perjanjian kredit dengan total pinjaman sebesar Rp 36 miliar.
Di BPR Karangmalang dana dimasukkan delapan kali secara bertahap mulai 2006 dan juga dijadikan agunan kredit dengan total Rp 6 miliar. Uang pinjaman kredit tersebut, menurut Kejati, seharusnya masuk ke kas daerah. Tapi malah digunakan untuk kepentingan di luar kedinasan.
Kasus ini telah menelurkan tiga tersangka. Selain Untung Wiyono dan Koeshardjono, Kejati Jateng juga menetapkan menahan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Pemkab Sragen, Srie Wahyuni.
Kuasa hukum Untung Wiyono, Dani Sriyanto, mengatakan, kliennya tak sepenuhnya tahu pendepositoan tersebut. Pada tahap awal, jumlah setoran deposito di BPR Djoko Tingkir sebesar Rp 19 miliar hanya disetujui Untung Wiyono sebanyak Rp 2 miliar.
“Yang Rp17 miliar tanpa sepengetahuan klien kami sebagai bupati,” katanya.
Melalui Dani, Untung Wiyono berdalih alasan penempatan deposito itu untuk penyehatan BPR sebagai bank milik daerah. Selain itu untuk pengembangan ekonomi mikro dan penambahan pendapatan daerah lewat bunga deposito. Menurutnya, berdasar PP 105/2000 penempatan deposito di BPR tidak dilarang.
“Yang disoal penyidik itu PP 39 tahun 2007, yang melarang penempatan uang dari kas daerah selain di bank umum. Tapi PP itu efektif berlaku tahun 2008 dan tidak berlaku surut,” jelasnya.
Sementara itu Agus Fatchur Rahman membantah dirinya ikut menikmati uang hasil penyimpangan. Namun dia mengaku pernah menerima uang dari Untung Wiyono tetapi tidak mengetahui sumber uang tersebut.
“Waktu itu Pak Untung kan dipersepsikan kaya raya, sehingga ketika dia memberi uang ya saya tidak mungkin menanyakan uang dari mana. Kalau dana nonbudgeter itu dijelaskan dari hasil pinjaman kredit deposito di BPR, ya saya jelas menolak,” jelasnya.
Agus menambahkan, dirinya tidak tahu menahu masalah pendepositoan uang kas daerah maupun peminjaman kredit dengan jaminan sertifikat deposito di dua BPR itu. “Yang tahu hanya Pak Untung, Pak Koeshardjono dan Bu Srie Wahyuni,” tandasnya.
Lebih dari Lima
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jateng akan menyelesaikan audit dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan mantan Bupati Sragen Untung Wiyono bersama mantan anak buahnya, akhir Juli ini.
Audit BPKP yang sedianya berakhir pada 12 Juli lalu, menurut Kepala BPKP Jateng Mochtar Husein, diperpanjang dua pekan ke depan hingga 24 Juli untuk merampungkan penghitungan kerugian negara.
Untung bersama mantan anak buahnya memasukkan kas daerah ke dalam deposito di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Karangmalang dan Djoko Tingkir untuk jaminan kredit perseorangan.
Secara garis besar, menurut Mochtar, kas daerah berupa deposito di BPR Djoko Tingkir yang dimanfaatkan kredit pribadi sebanyak kurang lebih Rp 11 miliar akhirnya macet sehingga pihak bank melakukan eksekusi. Sehubungan eksekusi tersebut, kas daerah berupa deposito yang dijadikan jaminan pada akhirnya menjadi aset milik bank. “Kerugian negara baru difinalkan setelah audit selesai,” jelas Mochtar saat ditemui di Solo, Senin (18/7) malam.
Berdasar hasil audit sementara, lanjut dia, ada lima pejabat di lingkungan Pemkab Sragen yang diduga terlibat dalam pengelolaan dana tersebut.
BPKP, lanjut dia, menunggu tim audit yang berjumlah empat orang termasuk pengawasnya untuk menghitung kerugian negara. Hasil akhir audit, lanjut dia, nantinya akan disampaikan ke Kejati Jateng.
Mochtar menambahkan, ada keteledoran para pejabat Pemkab Sragen dalam mengalokasikan kas daerah ke deposito bank. Langkah tersebut, lanjutnya, jelas menyalahi ketentuan pemerintah.
Menurut dia, tercatat ada 22 kali perjanjian kredit yang totalnya Rp 8 miliar di BPR Karangmalang. Sedang jaminan pinjaman menggunakan tujuh sertifikat deposito.
“Meski pada 4 Mei 2011 pinjaman telah dilunasi, kebijakan Untung Wiyono yang waktu itu sebagai bupati bersama anak buahnya menyalahi peraturan yang ada.”
Adapun di BPR Djoko Tingkir, lanjut dia, ada perjanjian kredit lebih dari 30 kali dengan jaminan 41 sertifat deposito yang nilainya mencapai Rp 31 miliar. Sedang saldo akhir kredit pada Juni 2011 tercatat sekitar Rp 11,2 miliar.
Sehubungan kredit di bank tersebut macet pada bulan tersebut, pihak bank mencairkan deposito yang semula milik kas daerah. “Ada kelebihan dana senilai Rp 513,4 juta yang kemudian disetor ke kas negara,” paparnya. (H68,nin,G11-43)
Sumber: Suara Merdeka, 20 Juli 2011