Korupsi dan Kehidupan; Memoar Seorang Koruptor
Kata orang bijak manusia dibentuk oleh alam sekitarnya; berlaku hukum sebab akibat. Dan, koruptor lahir bukan hanya karena keserakahan dan adanya kesempatan, namun juga merupakan produk masyarakat.
Bila ada yang mengajukan pertanyaan, kenapa aku jadi koruptor, jawabnya, aku sudah bosan hidup miskin, dan kenapa tindakan korupsiku tidak terbongkar, jawabannya aku melakukan korupsi berjamaah, saling menjerumuskan dan saling menutup rahasia.
Biografi pendek ini aku tulis bukan karena aku orang bodoh, jika bodoh tentu tak kan mungkin jadi koruptor. Membobol uang negara itu perlu kecerdasan, keahlian khusus, strategi, dan keberanian tiada tara.
Sifat koruptifku berproses lama. Dengan menulis biografi ini beban pikiranku jadi berkurang, minimal merasa seolah-olah, ya seolah-olah dosaku berkurang walau sebetulnya tidak. Pembaca pun jadi mengerti, memaklumi, syukur-syukur mau memaafkan.
Dua hari setelah HUT-ku yang ke-5, ibuku meninggal. Sebulan kemudian ayah menikahi seorang gadis belia. Sejak itu beliau tidak ambil peduli. Hanya waktu aku mau khitan ayah memberi sedikit uang, sepasang pakaian, dan seekor kambing.
Almarhumah ibu cukup berada; sawah dan kebunnya banyak. Perhiasan emas berbentuk gelang, kalung, anting dan cincin bermata berlian, dan seikat besar uang ia simpan dalam kotak di lemari pakaian. Tiga hari setelah jasad ibu dikubur, lemari pakaian almarhumah dibongkar paksa paman atau kakak lelaki tertua ibu. Semua perhiasan dan uang almarhumah dibagi antara paman dan adik-adik perempuannya. Dua bulan kemudian sawah dan kebun ibu juga diperebutkan, yang tersisa untukku hanya tiga pasang pakaianku, selembar sarung almarhumah.
Sejak itu aku diasuh adik nenek. Dengan susah payah nenek muda membesarkanku, menyekolahkanku mulai dari SD di desa kami hingga tamat SMA di ibu kota kabupaten. Selama sekolah deraan hidup aku alami lahir dan batin. Di SMA aku hanya punya pakaian dua stel, sepatu tanpa kaus kaki. Makan dua kali sehari dengan lauk seadanya, kerap sebutir telur itik untuk dua hari, jajan tidak pernah, mandi dengan sabun cuci.
Berawal dari kemiskinan
Impitan kemiskinan menyebabkan aku merasa rendah diri, aku menjauhkan diri dari pergaulan. Satu-satunya yang sering aku kunjungi di kota tempat tinggalku adalah Tia, putri sulung paman. Jika aku pulang kampung, paman menitip uang untuk Tia, aku pun diberi sekadar beli setengah bungkus rokok. Tia sangat cantik dalam pandanganku. Ia siswi sekolah kejuruan putri. Tanpa sadar aku pun jatuh cinta padanya.
Sehari sebelum pulang kampung libur kuartal pertama ketika duduk di bangku kelas III SMA aku ke rumah kos Tia. Bikin janji besoknya bareng pulang ke kampung. Sebelum pamit, sepucuk surat aku berikan padanya. Surat berisi curahan hati dan pernyataan cinta.
Besoknya setiba di terminal aku lihat Tia sudah duduk dalam bis. Aku pun naik, duduk pada bangku di depannya. Ia mencibir lalu meludahi wajahku. Aku malu, merasa dihina di depan umum. Air ludahnya aku bersihkan dengan sapu tangan, sapu tangan itu aku simpan dalam kantong celana.
Aku bersumpah, suatu masa Tia dan keluarganya harus tunduk padaku. Aku bertekad memperistrinya. Untuk itu aku harus keluar dari kemiskinan. Jalan satu-satunya merantau, mengumpulkan uang sebanyak mungkin, dan melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana.
Setelah tamat SMA aku merantau ke Pulau Jawa. Setiba di Ibu Kota aku mengurus KTP, lewat uang semua serba beres.
Pada tahun pertama di Jakarta aku kerja serabutan, mulai dari mencari order untuk perusahaan penyemprot nyamuk hingga bergabung ke dalam CV Dua Jari alias nyopet. Suatu siang ketika nyopet di atas bis kota aku tertangkap tangan, lalu dikeroyok massa. Wajahku babak belur. Seorang oknum berseragam menyelamatkanku, aku dibawanya naik sepeda motor. Di tempat sepi semua uang, kalung, cincin, dan gelang emas miliku diminta paksa.
Bosan jadi copet aku terjun sebagai salesmen, bekerja pada perusahaan pengadaan peralatan kantor. Siang kerja, malam kuliah. Di kampus aku mendapat mata kuliah tak resmi, oknum dosen membisikkan asal ada uang semua bisa diatur, mulai dari indeks prestasi (IP), skripsi, dan ijazah. Di lapangan pun aku mendapat ilmu khusus. Kepala bagian di beberapa kantor pemerintah yang jadi klienku beri persyaratan. Dari keuntungan yang aku dapat, 75 persen untuk dia dan 25 persen untukku. Lalu, 90 persen barang pesanan dikirim ke kantor, sisanya dikirim ke rumahnya.
Enak nian jadi oknum pegawai negeri. Setiap bulan terima gaji, hampir tiap hari korupsi, itu pun sambil ongkang-ongkang kaki di kantor pakai AC, gumamku.
Sejak itu aku pun bercita-cita ingin jadi pegawai negeri. Berbagai upaya ditempuh. Akhirnya uang juga yang bicara. Dengan ijazah sarjana yang cepat didapat berkat uang, aku pun diterima jadi pegawai negeri, juga pakai uang pelicin.
Hari pertama masuk kantor aku mencatat prestasi gemilang sebagai calon koruptor: sebuah pena merek Parker yang tergeletak di sebuah meja berhasil aku kantongi.
Di kantor aku menjalin hubungan dengan semua orang. Bila punya uang aku bagi-bagi pada teman. Tiap sebentar memberi kado hadiah hari kelahiran atau perkawinan pada atasan.
Aku disenangi, jabatanku meroket, selalu berada di tempat basah. Karierku berawal sebagai pegawai biasa, terakhir pada posisi Kepala Biro Pengadaan dan Proyek. Aku berprinsip, jika mendapat rezeki maka yang lain mesti ikut menikmati.
Setahun setelah merantau aku mulai berkirim pada nenek muda; semula kecil, makin lama makin besar. Taraf pertama dapur nenek muda aku suruh perbaiki, setahun kemudian kukirimi uang untuk renovasi rumah.
Paman yang dulu membongkar lemari almarhumah ibu berulang kali menulis surat, berpesan supaya aku jangan mencari istri di negeri orang, dan mohon agar aku segera pulang kampung. Aku pun pulang kampung sebagai pemuda sukses. Dua hari setiba di kampung, paman bersama putri sulung dan bungsunya, Tia dan Carla, datang menemuiku di rumah nenek muda. Tia bertitel sarjana, tapi belum kerja. Carla siswi SMA. Keduanya cantik. Dalam hati aku berbisik, kedua gadis cantik itu mesti jadi milikku.
Paman memohon padaku agar bersedia mempersunting Tia. Anaknya banyak, dia kerepotan memikul biaya rumah tangganya. Dua minggu setelah berada di kampung aku menikah dengan Tia, seminggu kemudian memboyongnya ke Jakarta. Carla juga ikut. Aku berhasil meyakinkan paman, berjanji membiayai sekolahnya di Jakarta.
Pada tahun ketiga pernikahan kami, Tia coba bunuh diri lantaran Carla memberi tahu dari Bandung