Korupsi dan "KeledaI" Sufi
Apa relevansi antara korupsi, keledai, dan kaum sufi? Belum lama ini, situs Kompas.com edisi 7 April 2011 menurunkan tulisan berjudul ”Revisi RUU Tipikor Diotaki 'Keledai'”.
Diberitakan, Amien Sunaryadi, mantan komisioner KPK, menyebut RUU Tipikor yang menimbulkan kontroversi di masyarakat saat ini sebagai draf yang, pertama, sangat mungkin ditunggangi pihak-pihak tertentu yang berkepentingan, dan, kedua, diotaki oleh ”keledai”.
Untuk kemungkinan yang pertama tidak ada yang istimewa dari pernyataan Amien. Sejarah di Indonesia memang secara pekat menunjukkan, modus paling sering dilakukan jaringan mafia pro-korupsi melemahkan orientasi pemberantasan korupsi adalah dengan membuat draf revisi berbagai aturan korupsi, yang materinya diarahkan untuk menelikung arah pemberantasan korupsi dari rel progresif ke jalur konservatif. Setidaknya hal itu pernah teridentifikasi pada revisi UU Tipikor terdahulu. Juga terbaca ketika muncul wacana revisi UU KPK, serta pada saat inisiasi UU Pengadilan Tipikor.
Kacamata kuda
Memori kolektif publik masih kuat mengingat, selain terhadap UU Tipikor, pernah ada momen ketika tiba-tiba saja muncul wacana merevisi UU KPK, yang ujung-ujungnya mengarah pada skenario pelucutan berbagai kewenangan ekstra KPK. Targetnya jelas, KPK digiring menjadi ”lembaga macan ompong” yang tak akan bisa lagi berperan secara signifikan dalam kerja-kerja penegakan hukum korupsi.
Pada momen lain, publik juga masih ingat bagaimana kelompok kepentingan tertentu tersebut ”meraih sukses” dalam memengaruhi materi UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Pasal 26 Ayat (3) UU Pengadilan Tipikor, terkait otoritas ketua pengadilan menentukan komposisi hakim karier dan hakim ad hoc dalam persidangan, sering disebut oleh aktivis anti-korupsi sebagai loophole yang berpotensi membuat pengadilan terhadap para koruptor akan berakhir antiklimaks. Kepentingan pro-korupsi rupanya tak pernah berhenti bergerilya menyurutkan upaya pemberantasan korupsi dengan penetrasi langsung kepada substansi berbagai hukum materiil dan hukum formil bidang korupsi.
Hal paling unik dari pernyataan Amien Sunaryadi justru terletak dalam analisisnya yang kedua, ketika ia menyebut otak (mastermind) dari draf UU Tipikor berkapasitas intelektual selevel ”keledai”. Bukan saja metodologinya tidak jelas, Amien juga menduga bahwa penyusunnya adalah ahli hukum yang hanya melihat persoalan korupsi tanpa memerhatikan praktik di lapangan. Sayangnya, Amien tidak menginformasikan lebih lanjut, siapa gerangan ahli hukum yang terlibat dalam pembuatan RUU dengan ”pendekatan kacamata kuda” tersebut.
Penggunaan istilah ”diotaki keledai” terhadap penyusun RUU Tipikor tentu maknanya sangat mudah dipahami publik yang sudah mafhum terhadap konotasi negatif ungkapan tersebut. Skandal otak ”keledai” dalam draf RUU Tipikor tidak saja merujuk pada sebuah ketololan, tapi juga disorientasi perancangnya dalam mengarahkan proyeksi pemberantasan korupsi ke depan. Maka, wajar jika kemudian ada yang bertanya secara retoris: dengan RUU yang diotaki ”keledai”, hendak dibawa ke mana sebenarnya muara pemberantasan korupsi di negeri yang masih akut dicengkeram praktik koruptif ini?
Namun, yang tetap tak bisa diduga, sebagaimana berbagai fakta sejarah gerakan korupsi di Indonesia, walaupun otak sekelas ”keledai” yang merancang RUU Tipikor, bukan berarti tidak perlu diwaspadai potensi perealisasiannya menjadi UU. Bukankah sering publik disuguhi tontonan semacam ini. Setelah muncul draf UU yang secara substansi terlihat tolol, kemudian berlanjut dengan berbagai ketololan dalam proses legislasi, akhirnya tetap saja berujung pada lahirnya perubahan UU yang dibangun dari asumsi-asumsi yang sarat dengan berbagai ketololan.
Kisah ”sang keledai”
Dalam konteks inilah kemudian menjadi relevan untuk menyimak sebuah kisah dalam dunia sufi, yaitu cerita mengenai Timur Lenk: keledai dan seorang sufi bernama Nasruddin Hoja.
Alkisah, pada suatu masa, Timur Lenk menghadiahkan seekor keledai kepada Nasruddin Hoja. Pemberian itu disertai permintaan aneh supaya sang sufi mengajari sang keledai membaca. Dua minggu setelah waktu pemberian, Nasruddin diminta mendemonstrasikan kemampuan membaca si keledai.
Nasruddin Hoja tidak menampik permintaan aneh itu, dan membuktikannya dengan membawa keledai tersebut ke hadapan Timur Lenk dua minggu setelahnya. Di depan Timur Lenk, pada saat disodori sebuah buku, keledai tersebut mulai membalik-balik halaman buku dengan lidahnya. Lembar demi lembar halaman buku dihabisinya. Setelah itu Nasruddin berkata, ”Keledaiku sudah bisa membaca.”
Karena penasaran, Timur Lenk bertanya, ”Bagaimana caramu mengajarinya membaca?” Nasruddin bertutur, ”Di rumah aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membuka-buka halaman untuk menikmati biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih melakukan itu semua.”
Mendengar penjelasan Nasruddin Hoja, Timur Lenk memprotes: ”Bukankah keledai itu binatang bodoh yang tidak mengerti apa yang dibacanya?” Dengan dingin, Nasruddin menanggapinya, ”Memang demikianlah cara keledai membaca, hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan?”
Draf RUU Tipikor memang dirancang oleh ahli hukum yang berotak ”keledai”, dan karenanya kerancuan substansinya meng- undang reaksi dari publik. Namun, yang mengejutkan, draf tersebut ternyata adalah RUU versi pemerintah. Lantaran mendapat reaksi luar biasa dari publik, proses pengusulannya pun akhirnya dicabut. Ini menunjukkan satu hal: walaupun secara substansi draf tersebut diotaki ”keledai”, tetapi dalam tipu muslihat proses legislasinya bisa jadi diskenariokan dengan canggih. Buktinya, draf itu sempat ”dinobatkan” sebagai RUU Tipikor versi pemerintah.
Maka, pelajaran moralnya jelas: selain memastikan sikap penolakan yang tegas terhadap draf RUU Tipikor produk otak ”keledai”, publik tetap perlu waspada. Walaupun sudah dicabut, bukan berarti itu akhir dari segalanya. Bisa jadi setelah RUU Tipikor, berikutnya yang akan disisir adalah UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor.
Kiranya, ”sindiran” Nasruddin Hoja terasa relevan untuk direnungkan: sekali sebuah ketololan dibiarkan, maka ia akan menjadi rangkaian ketololan yang pada akhirnya akan menggiring kita semua berada pada situasi buruk yang merugikan.
Hasrul Halili Dosen Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 April 2011