Korupsi dan Kemiskinan
Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tak akan pernah cukup untuk satu orang yang serakah.
(Mahatma Gandhi)
Berbicara mengenai korupsi yang kemudian dikaitkan dengan kemiskinan akan menimbulkan sebuah polemik: apakah korupsi menjadi penyebab terjadinya kemiskinan atau korupsi itu akibat dari keadaan miskin? Apakah korupsi dan kemiskinan itu berkaitan atau masing-masing berdiri sendiri?
Masalah ini menarik untuk diurai kembali mengingat beberapa waktu lalu telah dilakukan pertemuan antarlembaga penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk merumuskan agenda pemberantasan korupsi, khususnya mencari jalan keluar bagi aspek pencegahan.
Salah satu butir pikiran yang disepakati adalah menaikkan gaji pegawai untuk mencegah praktek korupsi yang gawat di lingkungan birokrasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pernah mengeluarkan perintah untuk meninjau ulang sistem penggajian bagi pegawai negeri sipil, yang selama ini dianggap tidak mencukupi. Benarkah gaji pegawai yang rendah menjadi penyebab terjadinya praktek korupsi?
Tak dapat dimungkiri, secara faktual, tingkat pendapatan pegawai negeri sipil di Indonesia jauh dari kebutuhan minimum yang layak dan manusiawi. Itu pun ditambah dengan minimnya alokasi anggaran untuk kegiatan operasional instansi pemerintah, khususnya aparat penegak hukum, yang mengakibatkan terkendalanya upaya penegakan hukum, termasuk tindak pidana korupsi. Setidaknya hal itulah yang selalu menjadi keluhan aparat kepolisian dan kejaksaan jika masyarakat menagih keseriusan mereka untuk menyelesaikan kasus korupsi.
Ekonom Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, jauh-jauh hari sudah menarik sebuah kesimpulan bahwa tidak ada korelasi positif antara korupsi dan tingkat kemiskinan. Menurut dia, korupsi terjadi bukan disebabkan oleh keadaan miskin, tapi oleh sebab-sebab lain yang jauh lebih dahsyat pengaruhnya, yakni kekuasaan dan keserakahan.
Ia mencontohkan beberapa fakta dengan pelaku korupsinya adalah orang kaya, orang berpengaruh, pejabat tinggi, dan pengusaha besar yang mengakibatkan tingkat kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Justru ketika korupsi dilakukan oleh mereka, daya dan jelajah rusaknya jauh lebih berbahaya.
Lantas apakah usul menaikkan gaji kalangan pegawai keliru? Secara umum, kita dapat membagi lingkup dan cakupan korupsi menjadi dua bagian besar: grand corruption dan petty corruption. Pembagian itu dilihat dari perbedaan aktor atau pelaku, timbulnya kerugian negara, serta motif atau tujuan dari korupsi itu sendiri.
Secara sederhana, grand corruption atau korupsi kelas kakap merujuk pada praktek korupsi yang dilakukan orang yang memiliki akses kekuasaan terhadap sumber-sumber daya ekonomi negara. Motifnya pun bukan karena ingin memperbaiki taraf hidupnya, melainkan jauh lebih tinggi, yakni bagaimana mempertahankan kekuasaan dan membuat sebuah kebijakan berpihak dan menguntungkan diri atau kelompoknya (baca: korupsi politik).
Lain hanya petty corruption atau korupsi kelas teri, yakni praktek korupsi yang dilakukan oleh pegawai rendahan yang memiliki akses dan peran menentukan atas lancar atau tidaknya pelayanan publik.
Akibat korupsi ini, secara kuantitas kerugian negara tidak terlalu besar. Namun, petty corruption berdampak negatif pada kualitas pelayanan publik. Masyarakat langsung merasakan sendiri dampaknya, yakni buruknya kualitas pelayanan yang diberikan birokrasi.
Motif korupsi jenis ini sangat sederhana, yakni bagaimana meningkatkan taraf ekonomi diri dan keluarganya. Benar kata Robert Klitgaard bahwa korupsi akan selalu terjadi jika hasil dari korupsi yang dilakukan jauh lebih tinggi dari insentif yang diterima sebagai pegawai birokrasi.
Dalam kasus korupsi kecil ini berlaku rumusan defense mechanism, yakni mekanisme pertahanan diri untuk tidak terseret ke kemiskinan absolut. Orang melakukan korupsi dalam lingkup ini secara penuh disebabkan oleh tidak mencukupinya kebutuhan hidup sehari-hari jika mengandalkan penerimaan gaji semata.
Dengan demikian, kesimpulan yang menyebutkan bahwa ada korelasi yang positif antara korupsi dan keadaan miskin hanya dapat berlaku pada lingkup petty corruption. Itu pun dengan sebuah keyakinan bahwa tidak ada pembenaran apa pun yang dapat diterima untuk sebuah praktek korupsi.
Dengan demikian, usul dari lembaga penegak hukum untuk menaikkan gaji pegawai agar tidak terjadi praktek korupsi sebenarnya hanya memiliki dampak pada lingkup petty corruption. Jika kebijakan menaikkan gaji itu memang benar-benar hendak berjalan efektif untuk meminimalisasi praktek korupsi di tubuh birokrasi, perlu ditempuh agenda paralel lainnya, yakni perampingan postur birokrasi kita yang sudah sangat gemuk.
Perampingan menjadi syarat mutlak bagi terealisasinya kenaikan gaji pegawai. Tanpa perampingan, implikasi yang ditimbulkan adalah membengkaknya beban anggaran hanya untuk membiayai kegiatan rutin pemerintah. Padahal komposisi anggaran, baik APBN maupun APBD, untuk saat ini--tanpa ada kenaikan gaji pegawai--sudah sangat mengabaikan belanja publik, mengingat sebagian besar alokasinya diperuntukkan bagi belanja rutin pemerintah saja.
Isu kenaikan gaji pegawai hanya bagian kecil--tanpa bermaksud mengecilkan artinya--dari agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Apalagi jika itu digagas oleh lembaga besar semacam KPK. Jika pemerintah serius memberantas korupsi, seharusnya isu kenaikan gaji pegawai sudah bisa diselesaikan pada level antarlembaga pemerintah.
KPK seyogianya berbicara mengenai agenda pemberantasan korupsi yang lebih strategis, yakni mencari jalan keluar untuk menghancurkan praktek grand corruption. Sebab, korupsi jenis inilah yang membuat kita selalu dalam kondisi serba miskin, bukan miskin dalam pengertian lahir saja, melainkan juga miskin dalam pengertian yang lebih luas.
Adnan Topan Husodo, anggota badan pekerja ICW