Korupsi Dan Kepercayaan Investor
Sekali lagi, kita ditunjukkan betapa sulitnya memberantas korupsi di negeri ini. Itulah yang bisa kita tangkap dari hasil ekspor hasil penelitian Transparency International Indonesia tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa nilai IPK Indonesia masih sama, yakni 1,9 dari rentang nilai 1-10. Angka 10 menunjukkan negara paling bersih dari korupsi. Kali ini, Indonesia menempati peringkat ke-122 dari 133 negara yang disurvai. Dengan indeks 1,9 itu, Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup nomor enam dari seluruh negara di dunia. Di tingkat ASEAN, kecuali Myanmar, Indonesia termasuk negara paling korup. Sementara ditingkat negara-negara di Asia, hanya Bangladesh dan Myanmar yang lebih korup daripada Indonesia. Lantas, pelajaran apa yang bisa kita petik dari semua ini? Dan, apa pengaruhnya bagi iklim berinvestasi di Indonesia?
Korupsi di Indonesia memang sudah berada pada batas yang kronis. Bahkan, belum lama ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan telah terjadi penyimpangan keuangan negara senilai RP 24,78 triliun. (Suara Karya, 1/10/2003). Penyimpangan yang terjadi selama periode tahun 2001 dan 2002 itu belum seluruhnya ditindaklanjuti secara tuntas, dengan nilai masing-masing Rp 23,64 triliun dan Rp 805,32 miliar. Sementara itu, penyimpangan selama Januari-Juni 2003 sebesar Rp 233,23 miliar. Temuan itu merupakan hasil pemeriksaan BPK selama Semester I 2003 atas pelaksanaan APBN, APBD, BUMN/BUMD, dan laporan keuangan Bank Indonesia, termasuk hasil investigasi rekening 502.
Pada konteks lain, tingginya tingkat korupsi ini juga ditengarai sebagai biang keladi melemahnya kepercayaan investor. Pendapat itu pernah disampaikan oleh pejabat sementara Direktur Regional Bank Dunia, Bert Hofman. Ia menilai, korelasi yang kuat antara tingkat korupsi dan pertumbuhan ekonomi adalah dari segi kepercayaan investor untuk berinvestasi. Tingginya korupsi dan lemahnya penegakan hukum seringkali menimbulkan ekonomi biaya tinggi (biaya siluman) bagi para investor. Akibatnya, banyak investor yang enggan berinvestasi di Indonesia. Padahal, tanpa adanya investasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat. Sebab, selama ini kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi nasional lebih banyak ditopang konsumsi domestik ketimbang investasi. Berkat kuatnya hasrat berkonsumsi masyarakat, perekonomian Indonesia pada tahun 2001 dan 2002 lalu mampu tumbuh masing-masing 3,32 persen dan 3,66 persen. Selama tahun 2002, misalnya, pengeluaran konsumsi pemerintah dan rumah tangga dalam pembentukan PDB masing-masing tumbuh 12,79 persen dan 4,72 persen.
Investasi memang merupakan salahsatu indikator ekonomi penting dalam menarik kocek devisa ke Indonesia. Masuknya investasi jelas akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja sehingga akan mengurangi beban pengangguran dan kemiskinan. Tetapi, sayangnya, sebagian investor asing masih takut menanamkan modalnya di Indonesia karena faktor nonekonomi, seperti korupsi (biaya siluman), ketidakpastian hukum, meningkatnya kecenderungan tindak kekerasan dan ketidakpastian proses desentralisasi. Saat ini saja, menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Indonesia menduduki peringkat ke-138 dari 140 negara sebagai negara tujuan berinvestasi. Lebih dari itu, data kinerja investasi di Indonesia yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga kurang enak disebutkan. Persetujuan penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) selama tahun 2002 mengalami penurunan masing-masing 34,9 dan 57,1 persen dibandingkan tahun 2001.
Kondisi demikian sungguh mencemaskan kita semua. Bagaimana tidak cemas, di tengah pulihnya kepercayaan yang ditunjukkan dari membaiknya sinyal indikator makro ekonomi seperti inflasi, tukar rupiah, sukubunga SBI dan pertumbuhan PDB, justru korupsi tampil sebagai faktor nonekonomi yang menjadi batu sandungan bagi upaya recovery economy. Bukan saja di mata kalangan mancanegara, Indonesia dicap negara terkorup tetapi hal itu diakui pula di dalam negeri sendiri. Kita menyaksikan dan merasakan bahwa korupsi bukannya semakin mengendur tetapi justru malah kian menggila.
Dulu, kata pengamat, lingkungan korupsi terbatas, kini lingkungannya meluas. Saat ini, sejumlah pengamat menilai, korupsi dilakukan secara lebih kasar dan dipertontonkan secara kasar pula. Tak heran, bila Samuel Huntington melalui bukunya political order in changing societies, khususnya tentang korupsi berpendapat, bahwa dalam hal frekuensi maupun skala, legislator nasional lebih korup dari pejabat lokal; para pejabat tinggi lebih korup dari pejabat lokal.; menteri kabinet adalah yang paling korup, dan presiden atau pucuk pimpinan adalah yang paling korup di antara semuanya. (Sjahrir, 1999).
Mengingat virus korupsi telah mewabah ke mana-mana, maka wajarlah jika kepercayaan investor luar negeri dalam menanamkan modalnya di Indonesia cenderung menurun. Secara umum ada dua faktor yang diperhatikan oleh investor dalam menaruh investasinya di sebuah negara, yakni faktor ekonomi dan nonekonomi (termasuk faktor korupsi dan politik). Faktor ekonomi berkaitan dengan adanya opportunity di sebuah negara. Opportunity itu berkaitan dengan keunggulan komparatif suatu negara sehingga dapat menekan biaya dan pasar yang potensial untuk meningkatkan pendapatan, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor ekonomi itu berupa keuntungan potensial yang dapat diperoleh dari investasi yang dikeluarkan.
Faktor kedua, yakni faktor nonekonomi berkaitan dengan bagaimana kondisi makro sebuah negara. Kondisi ini berkaitan dengan bagaimana kondisi makro sebuah negara. Kondisi makro ini berkaitan dengan kondisi politik, keamanan, sistem hukum, sistem perbankan dan lain sebagainya. Terpenuhinya faktor kedua ini untuk menjamin kelangsungan investasi yang telah dikeluarkan sekaligus kelangsungan dari keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi itu. Apa yang terjadi di Indonesia terakhir ini justru faktor nonekonomi relatif lebih dominan sebagai penentu pengambilan sebuah keputusan investasi bagi investor asing terutama untuk investasi jangka panjang (seperti Foreign Direct Investment/FDI) untuk mau dan berminat menanamkan modalnya.
Kesimpulannya, yang bisa dilakukan pemerintahan Megawati saat ini adalah mengendalikan dan mengoptimalkan faktor-faktor internal. Stabilitas keamanan dan politik dalam negeri, terlebih menjelang Pemilu 2004, jelas merupakan modal yang teramat penting untuk menarik kembali minat berinvestasi di Indonesia. Kita harus menyadari, ambruknya perekonomian Indonesia disebabkan capital flight (pelarian modal) dalam jumlah besar. Ibaratnya, waktu itu kita seperti pasien yang kehabisan darah karena capital flight tadi.
Melihat pentingnya pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat korupsi, maka langkah terbaik yang harus dilakukan - mungkin klise namun sangat krusial - adalah penegakan hukum, pembenahan institusi, dan pengalokasian dana yang tepat sasaran. Selain itu, dibutuhkan juga persamaan hak serta persamaan perlakuan hukum bagi masyarakat. Karena itu, komitmen pemberantasan korupsi, janganlah sekadar lips service belaka, tapi hal itu mesti dibuktikan kepada publik. Semoga. (Penulis, adalah analis statistik lintas sektorBadan Pusat Statistik - BPS, Provinsi Bali).
Tulisan ini diambil dari Suara karya, Kamis, 13 Nopember 2003