Korupsi dan Kinerja Sistem Politik
Korupsi sejak awal sudah menjadi fokus perhatian pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Korupsi sejak awal sudah menjadi fokus perhatian pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Komitmen ini tidak bisa diragukan lagi jika kita melihat kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung sebagai parameter, meskipun memang banyak kasus korupsi yang belum tuntas terusut. Misalnya kasus mantan presiden Soeharto yang diduga melakukan korupsi di tujuh yayasan, antara lain Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora, senilai Rp 1,4 triliun. Kasus ini tenggelam sejak majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan dengan alasan Soeharto sakit. Pada 2 Desember 1998, memang Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto, tapi hasilnya nihil.
Selain itu, ada kasus proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat, yang menyebabkan kerugian negara pada 1995-1996 sebesar Rp 82,6 miliar, 1996-1997 sebesar Rp 476 miliar, dan 1997-1998 sebesar Rp 1.3 triliun (Tempo Interaktif, 25/10/2004). Demikian pula kasus Pertamina tentang dugaan korupsi dalam technical assistance contract (TAC) antara Pertamina dan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) pada 1993 senilai US$ 24,8 juta yang melibatkan dua Menteri Pertambangan dan Energi era Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H. Upoyo.
Sejak 2001, ada 17 kasus korupsi, termasuk penyalahgunaan dan penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia, yang di-SP3-kan oleh Kejaksaan Agung. Yang menarik, pada 26 November 2004, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan surat edaran untuk mempercepat pemrosesan perkara korupsi yang sedang ditangani, termasuk me-review perkara-perkara yang dihentikan penyidikannya. Kasus dugaan korupsi yang akan dikaji ulang antara lain dugaan korupsi proyek TAC antara PT Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas.
Upaya Kejaksaan Agung mengkaji ulang kasus korupsi yang sudah dihentikan penyidikannya, menurut saya, suatu terobosan yang luar biasa. Yang penting dicermati di sini menurut saya adalah korupsi yang melibatkan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita. Ini penting sebagai contoh kasus tentang bagaimana dampak dari kasus korupsi terhadap kinerja suatu sistem politik seperti DPD. Kita lihat saja, ketika hampir semua anggota Komisi Pemilihan Umum tersandung korupsi, fungsi supervisi KPU terhadap kinerja KPUD dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak berjalan sehingga muncul kasus seperti pilkada Depok. Ini baru satu contoh dari rapuhnya kinerja sistem ketika pemimpin di dalamnya terlibat kasus korupsi.
Untuk lebih jujur, di kalangan internal DPD saja sekarang muncul semacam kubu-isasi terkait dengan isu pencabutan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Ginandjar Kartasasmita. Ada yang mendukung dan ada yang menolak. Itu memang wajar dalam politik, bahkan kalaupun menjadi problem personal antaranggota di dalamnya. Namun, ketika masalahnya potensial mengganggu kinerja sistem, ini tentu bukan persoalan personal lagi, melainkan menjadi persoalan publik.
Ketika menghadiri ulang tahun keempat Partai Demokrat beberapa waktu lalu, Wakil Ketua DPD La Ode Ida bercerita kepada saya tentang ketidaknyamanan internal DPD terkait dengan kasus SP3 Ginandjar. Bahkan ia berterus terang mengakui adanya ketegangan personal dengan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita. Saya melihat dan saya kira Ketua dan Wakil Ketua DPD juga sepakat bahwa ketika ada ketegangan personal dalam sebuah sistem, otomatis hal itu mempengaruhi kinerja sistem yang menganut pola kolektif-kolegial. Itu berarti kasus seperti yang menimpa Ketua DPD tidak bisa didiamkan begitu saja. Ini persoalan pelik yang menguji banyak hal dalam diri elite politik, termasuk menakar kadar kenegarawanan atau nasionalisme dalam diri elite politik.
Dampak Korupsi
Dalam konteks ini, saya tertarik untuk melihat sejumlah dampak dari dugaan korupsi terhadap kinerja suatu sistem politik. Pertama, kinerja sistem terganggu. Isu korupsi sering bersifat personal karena pertanggungjawabannya bersifat personal (personal liability), tapi dampaknya bisa organisasional, bahkan sosial. Organisasional kalau korupsi berdampak pada kinerja lembaga (tempat oknum ada/bekerja). Sosial kalau dampaknya meluas kepada masyarakat.
Dampak sosial sering implisit, ketimbang dampak organisasional, yang nyata dan eksplisit. Kasus Ginandjar adalah kisah yang nyata. Di satu sisi, Ginandjar memangku jabatan tertinggi untuk sebuah lembaga yang mengatasnamakan rakyat, yang artinya dituntut tanggung jawab dan komitmen yang utuh dan serius. Di sisi lain, Ginandjar tersandung dugaan korupsi yang berpotensi menyita perhatian dan menguras energi, baik sebagai pribadi maupun sebagai Ketua DPD. Belum lagi kalau kita berbicara tentang kemungkinan faksionalisasi di tubuh DPD antara yang pro dan yang kontra terhadap kasus Ginandjar. Singkat kata, kasus seperti ini berpotensi menjadi kendala bagi kinerja lembaga/sistem, sehingga solusi yang paling bijaksana adalah menonaktifkan Ginandjar sampai proses hukum selesai.
Kedua, citra dan kredibilitas sistem/lembaga di mata publik merosot. Untuk lembaga bergengsi seperti DPD yang dipimpin Ginandjar, tuduhan korupsi pada dirinya tentu berdampak pada bagaimana masyarakat politik memandang DPD sebagai sebuah lembaga publik yang mengatasnamakan rakyat. Maka, kalau mau bersikap sebagai negarawan sejati, selayaknyalah pemimpin yang memangku jabatan publik mundur dari jabatannya ketika tersandung dugaan pidana. Ini juga bagian dari etika jabatan.
Ketiga, lembaga/sistem diperalat untuk kepentingan diri. Kita tentu tahu bahwa tuduhan yang paling sering dilontarkan oleh kalangan antineoliberalis adalah bahwa lembaga multinasional seperti PBB, IMF, dan Bank Dunia adalah perpanjangan kepentingan kaum kapitalis global dan para hegemon global yang ingin mencaplok politik dunia di satu tangan raksasa. Tuduhan seperti ini sangat mungkin terjadi pada pejabat publik yang memperalat lembaga untuk kepentingan diri. Dalam kasus seperti ini, hanya masyarakat sipil yang berdaya dan supremasi hukum yang kuat yang bisa menyelamatkan kepentingan umum. Jika tidak, wallahualam!
Boni Hargens, Pengajar Ilmu Politik FISIP UI, Jakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 6 Oktober 2005