Korupsi dan Macetnya Reformasi Birokrasi
Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam setahun terakhir, yang melakukan operasi tangkap tangan terhadap lebih dari 10 kepala daerah, mengingatkan kembali akan masalah yang dihadapi aparatur sipil negara (ASN) kita. Setelah turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998, ada kemajuan dalam reformasi sistem politik dan kebebasan masyarakat sipil di Indonesia. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan perkembangan reformasi birokrasi yang progresif.
Beberapa survei indikator global menunjukkan bahwa birokrasi masih menjadi salah satu sumber inefisiensi dan penghambat usaha di Indonesia. Dalam laporan Global Competitiveness Index 2016-2017 oleh World Economic Forum, inefisiensi birokrasi menempati urutan kedua (9,3 persen)-di bawah korupsi (11,6 persen)-sebagai faktor penghambat bisnis di negeri ini.
Jika kita kembali lagi melihat kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK, misalnya proyek sosialisasi Asian Games 2018 dan tertangkap tangannya kepala sub-direktorat pajak oleh KPK saat menerima suap sekitar Rp1,9 miliar, tampak bahwa aparat sipil masih rentan melakukan korupsi. Bahkan data 2017 dari Indonesia Corruption Watch memperlihatkan aparat sipil menduduki urutan teratas sebagai pelaku korupsi, diikuti DPRD, dan kepala daerah.
Selain rentan terhadap korupsi, aparat sipil menghadapi masalah tingkat kompetensi. Badan Kepegawaian Negara melalui tes kompetensi mengidentifikasi 40 persen dari 1.000 pejabat eselon III tidak memiliki kompetensi yang memadai (Maret 2016). Kombinasi antara kurangnya kompetensi dan lingkungan yang rawan korupsi menyebabkan kinerja birokrasi Indonesia tidak kompetitif. Namun kesalahan soal kinerja yang tak optimal tersebut tidak dapat sepenuhnya ditimpakan kepada mereka.
Sistem politik yang lebih demokratis pasca-era Soeharto ternyata juga membawa implikasi negatif bagi birokrasi. Studi yang dilakukan akademikus dan politikus mengenai partai politik dalam sistem pemilihan umum langsung anggota DPR dan kepala daerah di era demokrasi mengidentifikasi tingginya biaya politik (Mietzner, 2013; Anung 2013).
Akibatnya, politikus yang berpeluang besar terpilih di DPR atau menjadi kepala daerah (bupati, wali kota, atau gubernur) adalah yang memiliki modal kapital sendiri, tokoh populer yang didukung pemodal, atau bagian dari dinasti politik yang sangat berkuasa di daerah setempat. Bila terpilih, ketiga jenis politikus ini akan mempunyai motivasi yang sama: mengembalikan modal politik.
Dalam konteks kepala daerah, mereka akan memanfaatkan posisi untuk mengumpulkan dana sebesar-besarnya lewat jual-beli jabatan dengan birokrat yang bersedia membayar dengan harga tinggi. Kemudian, kepala daerah bekerja sama dengan birokrat tersebut untuk mengeksploitasi anggaran pendapatan dan belanja daerah, yang biasanya memberikan fasilitas proyek kepada pemodal untuk mengembalikan utang modalnya. Inilah yang dinamakan sebagai politisasi birokrasi (Dwiyanto, 2015).
Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebenarnya ditujukan untuk mengatasi masalah politisasi birokrasi tersebut. Masalah kurangnya kompetensi aparat sipil itu dicoba diatasi lewat skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) untuk memperoleh aparat sipil berkeahlian khusus, seperti yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam perekrutan eksekutif senior Pertamina sebagai pejabat eselon I.
Selain itu, proses seleksi pejabat tinggi aparat sipil dibuat lebih terbuka dan akuntabel dengan mewajibkan adanya tiga kandidat untuk satu posisi. Kemudian, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibentuk untuk meminimalkan politisasi birokrasi dengan kewenangan mengawasi, dan bahkan bisa membatalkan proses rekrutmen serta seleksi pejabat yang terindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun situasi politik saat ini tidak kondusif bagi reformasi birokrasi. Pelaksanaan Undang-Undang ASN terbentur tertundanya penyelesaian berbagai peraturan pemerintah pendukung serta rencana partai penyokong pemerintah mengangkat pegawai honorer menjadi aparat sipil tanpa seleksi kompetensi (Prasojo, 2016). Belum lagi ada rencana revisi undang-undang tersebut oleh DPR dengan tujuan membubarkan KASN. Jika hal ini terus berlangsung, tentunya agenda reformasi birokrasi akan mengalami kemunduran.
Pelaksanaan Undang-Undang ASN adalah faktor penting peletak dasar penerapan e-government di Indonesia. Survei e-government dan e-participation dari PBB pada 2016 masih menempatkan Indonesia di posisi rendah, yakni ke-116 dan ke-114 dari 193 negara. Memasuki 2017, pemerintah sebaiknya memanfaatkan momentum tahun baru ini untuk mengembalikan prioritas mendorong reformasi birokrasi, sesuai dengan visi-misi Nawacita Presiden Jokowi.
Vishnu Juwono, Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi UI
-------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 31 Januari 2017, dengan judul "Korupsi dan Macetnya Reformasi Birokrasi".