Korupsi dan Transaksi Kekuasaan
Korupsi yang membuncah di mana-mana menunjukkan situasi sosial kita yang anomalik, yang bisa mengakibatkan pengusutan korupsi justru menjadi komoditas dan ladang subur korupsi baru. Kasus Mulyana W Kusuma dan dugaan korupsi di KPU yang anggotanya dikenal idealis yang berasal dari kampus dan LSM ternyata bisa terseret tindak korupsi, apalagi institusi lainnya.
Uang bukan segalanya, tetapi segalanya membutuhkan uang. Orang bisa tidak tergiur uang berjumlah kecil, tetapi jika berjumlah besar, iman bisa tergoncang.
Dalam tradisi budaya kita, kekuasaan apa pun bentuknya dan di lembaga mana pun telah menjadi pusat uang berseliweran. Kekuasaan dan uang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, pada tiap pusat kekuasaan: pemerintahan, swasta, partai politik, bahkan lembaga agama, bisa terjadi penumpukan uang dalam jumlah besar, mendorong banyak orang berebut untuk mendapatkannya.
Akibatnya terjadi kecenderungan sakralisasi kekuasaan dan anarki. Kekuasaan dipandang sebagai legitimasi dari langit, pulung yang menebar pesona dan wibawa yang tidak sembarang orang dapat memperolehnya, membuat tiap orang berusaha mendekatinya.
Transaksi kekuasaan
Dalam suatu negara, pemerintahan sebenarnya diselenggarakan sebagai alat negara untuk mewujudkan cita-citanya dalam kehidupan. Lembaga-lembaga kekuasaan negara dibentuk sesuai bentuk negaranya, apakah teokrasi, monarki, oligarki, atau demokrasi. Meski berbeda bentuk, tetapi setiap pemerintahan sebenarnya mempunyai kesamaan fungsi, yaitu sebagai institusi kekuasaan untuk mengatur kehidupan rakyatnya sesuai dengan filosofi dan tujuan negaranya.
Pemerintah lalu melengkapi diri dengan pegawai negeri dan aparat pemerintahan sebagai pelaksana negara untuk mewujudkan tujuannya. Kekuasaan dan kewenangan pemerintah disusun secara hierarki, dari kepala negara hingga kepala desa, semuanya menggenggam kekuasaan untuk menentukan kepemimpinannya di wilayah masing-masing.
Selanjutnya, kekuasaan pemerintahan mengeluarkan aturan-aturan untuk rakyat dalam berbagai aspek kehidupan dan bersifat mengikat rakyatnya. Ketika rakyat akan menjalankan aktivitas kehidupannya dalam ruang publik, ia akan bersinggungan dengan aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah dan mereka harus membayar untuk mendapatkan hak dan kekuasaan guna menjalankan aktivitas dalam ruang publik sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah itu.
Dalam perkembangannya, pemerintah sebenarnya telah menjelma menjadi lembaga yang melakukan transaksi kekuasaan untuk memberi perlindungan dan perizinan dalam kehidupan masyarakat. Pada awal berdirinya, pemerintah tak mempunyai dana cukup, kecuali kekuasaan itu sendiri, yang lalu ditransaksikan dan mendatangkan uang dalam jumlah makin besar, baik melalui pajak, biaya perizinan, maupun perlindungan.
Dalam hal ini, pemerintah menjelma menjadi institusi bisnis yang mentransaksikan kekuasaan kepada rakyatnya atau kepada pihak lain yang memerlukan kekuasaan untuk menjalankan kegiatannya dalam ruang publik, seperti investor asing.
Dalam perkembangannya, nilai transaksi kekuasaan berkembang besar. Karena itu, pemerintah perlu dikontrol ketat oleh kekuatan rakyat agar transaksi kekuasaan yang dilakukan tidak menyimpang dan merugikan publiknya.
Pembusukan transaksi kekuasaan
Dalam periode awal pembentukan pemerintahan negara, setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah tidak mempunyai dana cukup sebagai modal untuk menggaji pegawainya secara profesional. Dalam situasi demikian, gaji pegawai pemerintah amat kecil dan motivasi menjadi pegawai pemerintah semula merupakan panggilan dan pengabdian kepada negaranya. Lalu, untuk membiayai pegawai dan operasional kepemerintahan yang kian besar, pemerintah melakukan transaksi kekuasaan yang dimilikinya.
Dalam perkembangannya, transaksi kekuasaan menjadi amat luas karena menyangkut pengaturan semua aspek kehidupan masyarakat yang menjadi otoritas pemerintah, bahkan kemudian pemerintah menjadi pembeli terbesar dalam suatu negara. Akibatnya, transaksi kekuasaan yang ada di tangan seorang pejabat menjadi bisnis tersendiri yang mendatangkan uang sehingga para pegawai dan pejabat pemerintah yang semula mendapat gaji amat kecil dalam praktik bisa mendapat kekayaan amat besar.
Ketika institusi kepemerintahan menjadi kuat melalui transaksi kekuasaannya, ternyata tidak diikuti kebijakan pemerintah untuk mengubah dan menggaji pegawainya secara profesional. Akibatnya, kekuasaan yang ada di tangan mereka dijadikan ladang untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang justru lebih besar daripada gaji resmi, bahkan mereka rela menjadi pegawai dan pejabat pemerintah dengan gaji resmi yang kecil, bahkan mereka pun bersedia membayarnya. Dari sinilah sebenarnya pembusukan birokrasi kekuasaan pemerintahan telah terjadi dan berlangsung lama, bahkan makin parah.
Profesionalisme pemerintahan
Ada kecenderungan para pejabat pemerintah kita tidak ingin mengubah kebijakan membayar gaji pegawai dan pejabat pemerintah secara profesional dengan alasan beban yang dipikul negara menjadi lebih berat. Alasan itu tampaknya rasional, tetapi yang lebih rasional lagi, mereka tidak mau menjadi pelayan rakyat meski digaji besar, tetapi mau menjadi penguasa rakyat meski digaji kecil. Mengapa? Ternyata gaji profesional membatasi perolehan penghasilan yang lebih besar karena betapa pun besarnya gaji profesional yang dapat diberikan pemerintah akan lebih kecil dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh penguasa melalui transaksi kekuasaan yang ada di tangannya. Di sinilah rasionalitasnya mengapa para pegawai dan pejabat pemerintah mau digaji rendah, sementara fakta yang dapat dilihat dalam fenomena sosial sehari-hari, mereka ternyata dapat hidup mewah yang tidak mungkin dibiayai oleh gaji resminya.
Obsesi pemerintahan SBY-JK untuk memberantas korupsi akan menghadapi tembok besar jika SBY-JK tidak berani mengubah cara pengelolaan pemerintahan secara profesional. Sudah saatnya pemerintah yang berumur lebih dari setengah abad mampu membayar gaji pegawai dan pejabatnya secara profesional, dan jika mereka sudah digaji secara profesional, tetapi mereka masih melakukan tindakan korupsi, sudah sepatutnya jika mereka dihukum berat kalau perlu ditembak mati. Tanpa keberanian melakukan perubahan gaji secara profesional, pemberantasan korupsi cenderung menjadi bisnis baru bagi para pejabatnya sendiri dan korupsi menjadi kian sistemik yang sulit diberantas. Jangan sampai pemberantasan korupsi menjadi bisnis terselubung dan akibatnya pemberantasan korupsi menemui jalan buntu.
Jika SBY-JK ingin mengubah kehidupan rakyatnya, harus dimulai dari perubahan paradigma bahwa para pegawai dan pejabat pemerintah adalah pelayan rakyat, bukan penguasa rakyat. Pelayanan yang menuntut kemampuan profesional dan mendapat gaji secara profesional, maka mereka harus dapat melayani rakyatnya secara profesional. Tidak ada kekuasaan yang bisa dikorupsi karena mereka bukan penguasa dan dengan gaji profesionalnya mereka bisa hidup layak dan tidak perlu korupsi dilakukan. Jika tidak ada perubahan paradigma, maka akhirnya pemerintah akan bangkrut dengan sendirinya karena digerogoti sendiri oleh para pejabatnya yang menjualbelikan kekuasaan pemerintah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sebagaimana bangkrutnya institusi bisnis yang para karyawannya membisniskan perusahaannya untuk keuntungan dirinya sendiri, dengan mendirikan perusahaan dalam perusahaan.
Penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan transparansi pengelolaan kekuasaan pemerintahan hanya dapat dilakukan oleh pegawai dan pejabat yang profesional untuk menjadi pelayan rakyat, bukan penguasa rakyat. Lebih baik menggaji pegawai dan pejabat secara profesional, tetapi tidak korupsi daripada menggaji rendah tetapi korupsi karena beban negara menjadi lebih besar dan negara pun bisa bangkrut.(Musa Asy