Korupsi di Balik Ketertutupan MA
Sampai saat ini, Mahkamah Agung (MA) masih menutup pintu untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan mengaudit biaya perkara. Padahal, temuan awal BPK setidaknya Rp 7,45 miliar uang perkara masuk dalam kategori rekening liar yang berpotensi korup. Berdasar perhitungan ICW, pengelolaan dan pertanggungjawaban sekitar Rp 31,1 miliar biaya perkara sejak tahun 2005-Maret 2008 tidak jelas.
Sampai saat ini, Mahkamah Agung (MA) masih menutup pintu untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan mengaudit biaya perkara. Padahal, temuan awal BPK setidaknya Rp 7,45 miliar uang perkara masuk dalam kategori rekening liar yang berpotensi korup. Berdasar perhitungan ICW, pengelolaan dan pertanggungjawaban sekitar Rp 31,1 miliar biaya perkara sejak tahun 2005-Maret 2008 tidak jelas.
Demi meminimalkan potensi korupsi, disusun undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP). Disebutkan, keterbukaan informasi merupakan sarana mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaran negara yang berhubungan dengan kepentingan umum (konsideran c, UU 14/2008). Sederhananya, melalui perangkat keterbukaan informasi, penyelenggaraan kepentingan umum harus dipastikan tidak menyimpang.
Di titik inilah, ketika berbicara tentang pengelolaan keuangan di pengadilan, tindakan MA yang masih bersikukuh menyatakan biaya perkara bukan sebagai informasi yang boleh diumumkan ke publik dikategorikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap konsep keterbukaan informasi.
Pasal 1 angka (2) UU KIP menjelaskan hal itu dengan sangat baik. Informasi publik diartikan mencakup semua informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, atau diterima oleh badan publik... yang berkaitan dengan kepentingan publik. Sedangkan arti badan publik menunjuk pada semua lembaga negara (eksekutif, legislatif, yudikatif, atau badan lain) baik yang dananya bersumber dari APBN, APBD, uang masyarakat, atau dana uar negeri (pasal 1 angka (3)).
Tidakkah tujuan keterbukaan informasi mewujudkan penyelenggaraan yang transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan? Ya, pasal 3 huruf (d) UU KIP menyebutkan demikian. Meskipun UU tersebut baru berlaku dua tahun ke depan, semangat keterbukaan dan transparansi seharusnya sudah mulai diseriusi dalam koridor setiap reformasi birokrasi di semua institusi negara.
Bahkan, MA sendiri menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI, KMA No.144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Ditegaskan, pengadilan wajib menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses publik (pasal 3). Pada bagian lainnya disebutkan, pengelolaan keuangan pengadilan merupakan salah satu informasi yang terbuka (pasal 19). Apakah MA ingin mengkhianati produk hukumnya sendiri?
Perdebatan biaya perkara tersebut sejatinya terkait dengan fenomena rekening liar yang terdapat di banyak lembaga negara. Temuan BPK yang disampaikan melalui Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004-2006 merupakan data yang sangat penting.
Sembilan di antara tiga rekening liar yang dilaporkan pada LKPP 2005 ternyata tercatat atas nama ketua MA.Temuan itu terdiri atas empat rekening biro dan lima deposito yang berjumlah Rp 7,45 miliar. Laporan tersebut mengejutkan publik terutama karena analisis BPK yang menduga bahwa sejumlah uang liar atas nama ketua MA berasal dari biaya perkara.
Mendorong KPK
Mengacu pada laporan MA 2005-2007 dan Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan, MA-2003, bahkan dapat dihitung Rp 31,1 miliar atau rata-rata Rp 798 juta rupiah per bulan biaya perkara tidak cukup jelas penggunaannya. Apakah berarti MA dapat dikatakan melakukan korupsi biaya perkara? Di situlah, KPK harus berperan membongkar sistem korup dalam pengelolaan keuangan MA.
Setidaknya,empat unsur utama UU Korupsi mengarah pada bukti awal eratnya hubungan ketertutupan MA dengan dugaan korupsi biaya perkara. Yaitu, unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara, menguntungkan diri sendiri/orang lain, dan menyalahgunakan kewenangan.
Pengelolaan keuangan yang bertentangan dengan asas transparansi (pasal 3 UU 17/2003) dapat dikategorikan memenuhi unsur pertama (melawan hukum). Atau, adanya praktik pungutan lain seperti yang diakui beberapa advokat akan lebih menguatkan dalil itu.
Pelanggaran kewenangan konstitusional MA yang menghalangi BPK mengaudit biaya perkara MA, selain melawan hukum, juga dapat dipandang sebagai penyalahgunaan wewenang. Sebab, beberapa petinggi MA menggunakan jabatan/kewenangannya untuk menghalang-halangi pemeriksaan BPK.
Pemberian kewenangan kepada panitera MA untuk memungut biaya perkara berdasar HIR/RBg tentu tidak dapat diartikan sebagai kewenangan untuk menyembunyikan dugaan penyimpangan di balik ketertutupan pengelolaan keuangan.
Selain itu, temuan aliran uang perkara pada rekening atas nama ketua MA dapat menjadi bukti awal. Tentu, dapat ditelusuri siapa pihak yang diuntungkan dari kemelut dan ketertutupan pengelolaan biaya perkara di MA.
Kemudian, unsur potensi kerugian negara. KPK bisa menggunakan kewenangan yang diatur pada pasal 12 UU KPK. Misalnya, meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka. Atau, menjadikan proses itu sebagai pintu masuk bagi BPK atau BPKP melakukan audit investigatif.
Atas dasar itulah, ICW akan sangat mendukung keseriusan KPK menyelesaikan kemelut biaya perkara dan dugaan korupsi di MA. Konsep merubuhkan fondasi koruptif dan kemudian membangungnya kembali dengan jalur reformasi birokrasi, agaknya, lebih relevan ketimbang menunggu Peraturan Pemerintah PNBP yang karena sifat tidak dapat berlaku surutnya justru berpotensi memutihkan beberapa penyimpangan sebelum PP diterbitkan.
Febri Diansyah , peneliti hukum pada Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 10 Juni 2008