Korupsi di Bank Syariah?
Artikel Mungkinkah Ada Korupsi di Bank Syariah? di Republika, pada 25 Mei 2005 cukup menarik untuk disimak. Tidak saja karena artikel tersebut ditulis oleh seorang peneliti Bank Indonesia (BI), Dhani Gunawan Idat, tetapi juga dapat ditarik benang hijaunya dengan tulisan anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Ikhwan A Basri, berjudul Dicari Eksekutif Muslim yang Kafah dan Dampak Negatif SDM Konvensional Mengemudikan LKS. (Republika 24 dan 26 Maret 2005).
Menurut hemat penulis, otoritas perbankan telah memberi loop hole bagi kemungkinan terjadinya hal tersebut. BI telah mengamini pemikiran (yang mungkin bersumber dari Ikatan Akuntan Indonesia dan diajukan ke Dewan Syariah Nasional/DSN) untuk mengubah aturan pembukuan transaksi pendapatan Bank Syariah yang telah pernah baku dari cash basis ke accrual basis. Saudara Dhani dan Ikhwan kita anjurkan untuk menguraikan latar belakang pemikiran dan sebagainya hingga diberlakukannya ketentuan di dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) 2003 yang mewajibkan Bank Syariah menyatakan pendapatan yang akan ditagih menjadi pendapatan riil di dalam laporan neraca dan laba ruginya.
Jauh sebelum ketentuan ini diberlakukan, sejak tutup buku bulan pertamanya 31 Mei 1992 hingga ke 2002, Bank Muamalat secara konsisten melaksanakan aturan pembukuan pendapatan dengan metoda cash basis. Laporan tutup buku tersebut tetap saja menunjukkan tingkat laba tergolong tinggi bahkan dibandingkan dengan bank konvensional pada papan yang sama (kecuali periode krisis yang dimulai 1997 dan baru teratasi pada tutup buku 2003) meskipun tanpa meng-accrue pendapatan dalam pembukuannya. Tanpa menerapkan metoda accrual basis dalam pembukuan pendapatan tersebut, Bank Muamalat dan bank syariah lainnya berjalan dan dapat bersaing dengan bank konvensional dalam prestasi finansial akhir tahunnya.
Sulap
Adanya loop hole yang telah diabsahkan tersebut akan merangsang dan mengarah pada korupsi. Hal ini dimulai dalam bentuk pempublikasian neraca dan laba rugi akhir tahun yang bersifat window dressing. Kita mengetahui betapa banyaknya bank-bank yang menggelembungkan angka total pendapatan akhir tahun dengan maksud untuk menggelembungkan angka tingkat laba melalui perlipatgandaan angka pendapatan, laba, dengan mengkredit pos pendapatan dari pendebetan pendapatan yang akan diterima (Interest Earned Not Collected/IENC). Cara ini dilakukan dalam upaya meyakinkan masyarakat bahwa bank bersangkutan menguntungkan, untuk menarik dana masyarakat lebih banyak dan maksud-maksud lainnya, antara lain mengarah pada tindakan kriminal dalam keuangan bank.
Bahkan, metoda accrual basis dapat disalahterapkan untuk menyulap bank yang tadinya merugi menjadi bank yang untung. Korupsi apa yang terjadi dalam hal ini? Pada peringkat awal adalah tindakan korupsi dalam pengertian universal yaitu cacat moral dalam ''memalsukan'' angka dalam jumlah yang tidak sebenarnya, melaksanakan perbuatan yang tidak wajar, sebuah perusakan integritas dan kebajiban (lihat tulisan Muladi, Kompas, Rabu 25 Mei 2005, hlm. 43). Pada peringkat berikutnya, akan terjadi pengkorupsian dalam arti pemalsuan angka-angka neraca dan laba rugi yang semakin melebar dan membengkak sehingga membangkrutkan bank atau perusahaan terkait. Kejadian yang menyimpang ini kerap baru diketahui secara mendadak sementara publik telah terninabobok oleh prestasi finansial yang semu tersebut.
Dengan menaruh hormat pada mereka yang mengusulkan perubahan metoda cash basis ke accrual basis tersebut, penulis sangat menganjurkan agar ide yang barangkali pernah dianggap ''brilliant'' ini ditarik mundur. Kembalikan metoda cash basis dalam pengakuan dan pembukuan pendapatan di bank syariah dengan mengoreksi materi isi PAPSI 2003. Hanya satu pengecualian yang dapat penulis terima untuk meneruskan metoda accrual basis dalam hal tersebut, yaitu apabila benar ada nash yang kuat, ketentuan-ketentuan syariah yang kuat yang memutlakkan pembukuan pendapatan wajib dilakukan dengan accrual basis.
Apabila pandangan syariah dalam pembukuan pendapatan dengan accrual basis dan cash basis dan kedua-duanya masih dalam area abu-abu (seperti misalnya terbelahnya pendapat para ulama yang sebagian menyebut bunga adalah riba dan haram, sebagian merumuskan halal dan sebagian merumuskan subhat), ketentuan PAPSI dalam pembukuan pendapatan di bank syariah harus dikembalikan ke metoda cash basis. Bank Muamalat mengadopsi metoda cash basis itu dari prosedur pembukuan Bank Islam Malaysia Berhad dimulai sejak awal pengoperasian. Dalam kenyataannya pembukuan pendapatan dengan metoda ini diterapkan oleh hampir seluruh bank Islam di dunia. Pada setiap akhir bulan dan pada akhir tahun ketika sebuah bank syariah menutup buku, yang muncul pada angka-angka tersebut adalah total pendapatan yang sungguh-sungguh nyata-nyata diterima oleh bank tersebut, bukan angka yang belum diterima secara nyata tetapi masih akan ditagihkan pada bulan berikutnya (accrued income). Dalam metoda pembukuan cash basis ini, angka rugi laba tutup buku akhir bulan dari bank syariah akan sangat berfluktuasi. Metoda cash basis memaksa account officer bank syariah untuk dengan gigih dan kerja sama baik dengan nasabah pembiayaannya untuk terlaksananya transaksi pembayaran angsuran dan bagi hasil (margin) tepat pada waktunya (tidak melalui transisi membukukan kewajiban nasabah tersebut dalam pos piutang). Adanya ''keadaan yang memaksa'' ini merupakan sebuah kelebihan lain di sisi bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional, dan sangat membantu sebagai a built in control system dalam metode pembukuan perbankan.
Sebelum dikeluarkannya PAPSI 2003 (bahkan hingga sekarang), penulis tetap saja mengatakan bahwa pembukuan pendapatan dengan metoda cash basis merupakan salah satu kekuatan bank-bank syariah yang harus tetap dipertahankan. Metoda ini merupakan pembukuan yang sangat transparan dan prudent, persis mengikuti kenyataan, dan dapat digolongkan sebagai bagian dari pelaksanaan prudential banking system. Atas dasar pandangan ini, mengapa kemudian metoda accrual basis dipaksanakan dalam pembukuan pendapatan bank syariah?
Penetapan pelaksanaan accrual basis di bank syariah tersebut, dari sudut pandang tertentu bertolak belakang dengan konsep bagi hasil (profit/revenue sharing) yang mengharamkan Bunga. Bunga adalah pengenaan beban atau pemberian imbalan atau penggandaan yang dilaksanakan atas dasar kepastian, yaitu sebuah dasar kepastian terhadap sesuatu yang sesungguhnya belum tentu terjadi. Di area ini terletak perbedaan yang menyolok antara bank syariah dan bank konensonal.
Bunga deposito bank konvensional sebesar 6 per tahun diperhitungkan dari angka pasti nilai deposito tersebut per jangka waktu yang disepakati. Apabila nilai deposito tersebut Rp 100 juta berjangka waktu 6 bulan, secara pasti deposan mendapatkan bunga setiap bulannya 6 persen x Rp 100 juta : 12 = Rp 500 ribu. Bukan persoalan apakah bank konvensional bersangkutan akan dapat beroperasi secara menguntungkan atau gagal dalam menjalankan usahanya. Di bank syariah tidak akan pernah diketahui secara pasti berapa imbalan bagi hasill yang akan diterima oleh seorang deposan. Yang pasti diketahuinya adalah kontrak yang telah ditandatangani atas nisbah bagi hasil 50:50, yaitu 50 persen dari pendapatan yang dihasilkan bank dari dana Rp. 100 juta adalah merupakan bagiannya. Bank syariah hanya akan memberi imbalan pendapatan deposan sebatas yang dapat diperolehnya yang dapat dalam jumlah besar atau jumlah kecil, tidak memberatkan dirinya, 50 persen dari sesuatu yang tidak pasti.
Hanya Allah SWT yang memiliki kepastian, seperti firman-Nya di dalam Surat Luqman 34, ''Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tapi Maha Mengenal''. Dalam metoda accrual basis sesuatu yang tidak pasti akan dapat diterima, berupa piutang yang telah dibukukan sebagai pendapatan yang telah diakui sebagai pendapatan, yang tidak sejalan atau bertolak belakang dengan cara pandang tersebut di atas.
Pandangan ini akan dapat menuai komentar, bahwa apabila demikian halnya, bank syariah pun harus menerapkan metoda cash basis di sisi pembukuan pos-pos biaya. Menurut pandangan penulis, metoda accrual basis atas pos-pos biaya dapat dilaksanakan di bank syariah, oleh karena pos-pos biaya yang di-accrue adalah yang ''mengandung kepastian'' dalam penagihannya, yaitu suatu jumlah yang memang telah diketahui kisaran angka pembayarannya dan pasti akan ditagih, seperti misalnya biaya listrik, telepon, atau sejenisnya.
SDI dan bank syariah
Tindak korupsi di sebuah lembaga usaha dilakukan oleh manusia-manusia yang mengoperasikannya. Agar operator tersebut berjalan di jalan yang lurus, harus ditetapkan parameter yang boleh atau dapat mereka lakukan atau tidak lakukan. Memiliki eksekutif Muslim yang kafah adalah impian Saudara Ikwan dan kita bersama. Tapi, kafah saja tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan sistem dan prosedur yang sangat kuat dan lengkap dengan loop hole yang sangat diminimalkan (mendekati nol) terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan termasuk terhadap korupsi.
Kekurangaan sumber daya insani (SDI) di bidang perbankan syariah menyebabkan dampak negatif, seperti disebutkan Saudara Ikhwan dalam tulisannya. It goes without saying. Memang akan demikianlah yang terjadi. Demikian pula dengan ketercemaran oleh budaya bunga pada sosok SDI konvensional yang ikut mengoperasikan bank syariah. Semua ini akan tidak terjadi bila sistem dan prosedur di sebuah bank syariah demikian lengkap dan dengan penerapan penuh serta sangat konsisten. Staff-wrong-doings, fraud, tindakan kriminal dan korupsi terjadi di bank manapun apabila bank tersebut tidak dioperasikan atas landasan Standard Operating Procedures (SOP) yang lengkap dan kuat teruji.
Kelemahan di bank-bank domestik pada khususnya adalah dalam hal tidak lengkap dan sempurnanya sistim dan prosedur, demikian pun dalam penerapan dan pelaksanaan audit dan kontrolnya. Bukanlah soal yang sangat besar apabila bank syariah dijalankan oleh eksekutif Muslim yang berasal dari bank konvensional, sepanjang sistem dan prosedur lengkap dan diterapkan secara konsisten, terutama yang menyangkut pengoperasian dan produk-produk syariah.
Menurut hemat penulis, MUI, DSN, BI, bank-bank syariah dan lembaga-lembaga pendidikan yang diwakili oleh orang-orang atau badan-badan yang tepat harus duduk bersama menata ulang kurikulum dan silabus dalam pengajaran ekonomi dan perbankan Islam mulai dari tingkat SD hingga ke tingkat perguruan tinggi. Saat ini telah banyak lembaga pendidikan yang menyusun dan menerapkan kurikulum dan silabus dalam ekonomi dan perbankan Islam, termasuk dalam Program S2 dan S3. Diperlukan waktu untuk bisa dicapai standardisasi dalam hal ini, namun harus ada yang mengambil inisiatif untuk hal-hal tersebut di atas. Salah satu target penting dalam pelaksanaan pendidikan dan program pelatihan dalam hal-hal tersebut adalah untuk dapat menghasilkan bankir Islam yang sangat peka pada sesuatu yang halal dan sesuatu yang haram, yang juga akan memungkinkan tercapainya zero-defect dalam hal-hal korupsi di dunia perbankan Islam.(Zainulbahar Noor, Komisaris dan Mantan Direktur Utama Bank Muamalat)
Tulisan ini diambil dari Republika, 9 Juni 2005