Korupsi di Beleid Amnesti Pajak
Monday, 22 August 2016 - 00:00
Walaupun telah disahkan dan disosialisasi, Undang-Undang Amnesti Pajak masih menuai pro-kontra. Di satu sisi, kebijakan ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Di sisi lain, kebijakan ini berbenturan dengan upaya penegakan hukum. Beleid ini dikhawatirkan dapat menghambat penegakan hukum, khususnya kejahatan korupsi dan pencucian uang.
Berkali-kali pemerintah dan DPR meyakinkan publik bahwa undang-undang ini terbatas hanya untuk sanksi perpajakan. Bahwa tax amnesty hanya bicara penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi pajak, serta penghapusan sanksi pidana perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Kebijakan ini diklaim tidak ada kaitannya dengan pengampunan kejahatan lainnya di luar pidana perpajakan. Namun, jika kita pahami secara utuh, tidak demikian adanya. Undang-undang ini memuat ganjalan bagi penegakan hukum kejahatan lainnya yang terkait, terutama korupsi dan pencucian uang.
Ada yang janggal di sini. Walaupun sebagian besar undang-undang ini bicara mengenai pengampunan pajak, ada satu ketentuan yang dapat berdampak luas bagi kejahatan lainnya, yakni pasal 20. Ketentuan ini mengatur tentang manajemen data dan informasi. Pasal 20 menyatakan bahwa data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Dibaca selintas, pasal itu tidak bermasalah. Bahwa segala data dan informasi yang diserahkan wajib pajak tidak akan diganggu gugat dan dijadikan bahan untuk mengusut perbuatan “pidana perpajakan” yang dilakukan wajib pajak tersebut. Ini logis, karena inilah esensi dari pengampunan pajak, yakni mengampuni pidana pajak. Selama data dan informasi itu diserahkan kepada Kementerian Keuangan atau pihak lain yang terkait, ketentuan pasal 20 berlaku.
Yang menjadi persoalan adalah penjelasan pasal 20 tersebut. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa tindak pidana yang dimaksudkan dalam pasal 20 meliputi tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain. Di sinilah masalah muncul. Pembatasan akses data dan informasi itu tidak hanya berlaku bagi pidana perpajakan, tapi juga “tindak pidana lain”, dalam hal ini semua jenis tindak pidana, termasuk korupsi dan pencucian uang yang sangat terkait dengan kejahatan pajak.
Tentu menjadi pertanyaan besar mengapa harus ada kata “tindak pidana lain” dalam penjelasan pasal 20? Mengapa tidak konsisten saja dengan pidana perpajakan? Di sinilah inkonsistensi undang-undang ini terlihat. Beleid yang digadang-gadang hanya untuk pidana perpajakan ternyata menyimpan aturan yang memberikan perlindungan bagi kejahatan lainnya.
Kata-kata “tindak pidana lain” inilah yang dapat dimanfaatkan oleh penumpang gelap. Dikhawatirkan ketentuan tersebut dimanfaatkan oleh koruptor untuk mencuci bersih dana yang pada dasarnya bersumber dari kejahatan korupsi. Dengan begitu, uang hasil kejahatan bisa tersamarkan dan seakan bersih karena sudah membayar kewajiban pajak melalui program pengampunan pajak, sehingga para koruptor mendapat celah untuk menghindar dari kejaran aparat penegak hukum.
Ketentuan ini juga menegaskan bahwa besar kemungkinan uang yang akan masuk program amnesti tidak semata-mata dari kejahatan pajak saja, tapi juga berasal dari kejahatan korupsi, pencucian uang, atau kejahatan lainnya. Penjelasan pasal 20 itu dimotivasi untuk memberikan perlindungan hukum yang istimewa bagi pelaku kejahatan.
Akibat hukum dari pasal 20 sangat serius.Aturan tersebut akan menjadi ganjalan bagi penegak hukum yang sedang atau akan mengusut tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang melibatkan mereka yang ikut program pengampunan pajak. Ketentuan ini berpotensi mengubah haluan pengampunan pajak menjadi pengampunan untuk koruptor.
Penempatan kata “tindak pidana lain” dalam bagian penjelasan dicurigai untuk menyembunyikannya dari perhatian publik. Penjelasan pasal 20 itu jelas tak lazim dipandang dari aturan main pembentukan undang-undang. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa penjelasan hanya memberikan keterangan,informasi, atau tafsiran atas norma yang terkandung dalam suatu pasal.Penjelasan tidak dapat berisi suatu rumusan norma baru atau memperluas dan menambah norma yang terkandung dalam pasal di batang tubuh.
Penjelasan pasal 20 itu merupakan bentuk penyelundupan norma hukum. Bukannya menjelaskan kata dan frasa yang ada dalam pasal 20, melainkan penjelasan itu memperluas jenis tindak pidana dari perpajakan menjadi semua jenis pidana. Hal ini mengingkari niat dan tujuan utama dibentuknya undang-undang yang hanya mengampuni pidana pajak. Model perumusan penjelasan pasal 20 ini telah memuat perubahan terselubung terhadap substansi utama UU Pengampunan Pajak.
Penyelundupan norma hukum ini merupakan salah satu model korupsi legislasi yang sering kita temui dalam berbagai kasus. Telah banyak preseden buruk ketika ada pasal-pasal dalam undang-undang yang dibuat oleh pemerintah dan DPR yang dirumuskan berdasarkan titipan kepentingan segelintir kelompok. Dalam UU Pengampunan Pajak, titipan kepentingan itu telah menggerus integritas program pengampunan pajak.
Oce Madril, Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM
Tulisan ini disalind dari Koran Tempo, 22 Agustus 2016