Korupsi di Mata Siswa-siswa SMA
Sebuah bangunan yang terdiri atas susunan balok-balok berdiri tegak. Bangunan yang memiliki wajah itu ternyata kemudian berbicara.
”Hai, aku adalah sebuah negara berkembang. Saat ini, aku masih dalam tahap pembangunan. Pembangunan ini bisa dilakukan berkat pendudukku yang taat membayar pajak,” kata wajah dalam bangunan itu.
Sebuah tangan menambahkan sebuah balok di atap bangunan. ”Wah, terima kasih telah turut serta membangunku, he-he-he. Lihat, kan, emh... aku berharap suatu saat nanti aku menjadi negara yang maju,” kata bangunan itu.
Tiba-tiba satu tangan gendut merenggut sejumlah balok dari bangunan itu. ”Hei, apa yang kamu lakukan, hei kembalikan! Tidak, hentikan! Kamu hanya akan membuatku jadi negara rapuh. Kalau begini terus, aku akan, ah... sakit... sakit..,” teriak bangunan yang lantas roboh.
Itu adalah isi adegan video bikinan dua murid SMAN 78 Jakarta, Dimas Aryo Utomo dan Panji Sabda V, yang memenangi kompetisi desain poster dan video antikorupsi dengan tema Go Creative No Corruption yang diselenggarakan Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
Dimas dan Panji berusaha menggambarkan negara yang dibangun secara susah payah dengan pajak rakyatnya akhirnya hancur karena korupsi. Video itu ditutup dengan tulisan ”Korupsi Merusak Diri Sendiri dan Negara. Stop Korupsi!”
Menurut Panji, ide pembuatan video itu awalnya dari Dimas yang muncul spontan saat mengetahui ada lomba pembuatan video dan poster. ”Kami menggambarkan negara sebagai sebuah bangunan, sementara tangan-tangan yang mengambil balok-balok penyusun bangunan itu sebagai koruptor,” kata Panji.
Selain karena tantangan adanya kompetisi, pembuatan video itu juga sebagai bentuk kepedulian mereka pada masih maraknya korupsi di Indonesia. ”Meski kami masih SMA, kami bisa melihat pemberantasan korupsi di Indonesia itu jalan di tempat. Masih untung tidak mundur,” tutur Panji, yang duduk di kelas XII.
Pendapat senada dikemukakan Ghifari Susmadia, siswa SMP Binus School Simprug, yang poster bikinannya menempati peringkat kedua kategori poster untuk SMP. ”Save our country from rats”, demikian tulisan dalam poster yang bergambar tikus itu.
Ghifari menggambarkan koruptor sebagai tikus-tikus yang merusak negara. ”Saya gemas kalau dengar atau baca berita di media, kenapa tidak ada yang menghentikan (korupsi). Kayaknya belum serius (pemberantasan korupsi),” ujar Ghifari, yang duduk di kelas IX.
Menurut dia, selain dari media, ia mengerti soal korupsi yang merusak dari pelajaran di sekolah, meski tidak secara khusus ada pelajaran soal antikorupsi. ”Ada pelajaran international humanity, yang kadang dibahas soal korupsi. Tetapi, karena kami sekolah internasional, yang dibahas korupsi di luar negeri,” ujar Ghifari.
Maria Intan Setiadi, ketua penyelenggara, mengatakan, tujuan lomba ini untuk merangsang kreativitas pelajar, yang disalurkan ke hal-hal positif. ”Agar nantinya anak-anak itu tidak hanya pandai secara ilmu, tetapi juga memiliki kepedulian pada kondisi Indonesia,” ujarnya.
Ia gembira karena peserta lomba sangat antusias, yang selain dari Jakarta juga berasal dari Lampung, Bali, Semarang, dan sejumlah kota lain di Indonesia.
Pembentukan kesadaran antikorupsi, menurut Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Dedie A Rachim, memang harus dimulai sejak masih di sekolah. Saat berbicara di depan anak-anak SMA dan SMP peserta lomba, Dedie mengatakan, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling korup di dunia. (Prasetyo Eko P)
Sumber: Kompas, 18 Maret 2011