Korupsi di PT PLN; Eddie Widiono (Batal) Bebas
Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono (batal) bebas tepat di hari masa penahanan maksimalnya yang 120 hari habis, Rabu (30/8). Eddie resmi ditahan di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri sejak 3 Mei 2006 lalu. Eddie menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penggelembungan (mark up) proyek pembelian truck mounted di Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Borang, Sumatera Selatan.
Sebelumnya, penyidik Polri sempat beberapa kali menyerahkan berkas acara pemeriksaan Eddie kepada Kejaksaan Agung. Namun, pihak kejaksaan hingga menjelang batas akhir penahanan Eddie belum juga dapat menerima berkas tersebut.
Hingga Rabu (30/8) sore, jaksa penuntut umum yang menangani perkara dugaan korupsi penggelembungan dalam pembelian dua unit mesin turbin truck mounted (TM) 2500 di Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Borang, Sumatera Selatan, masih belum menyatakan berkas pemeriksaan Eddie Widiono (Direktur PT PLN) lengkap atau P-21. Pasalnya, masih ada hal-hal yang diminta jaksa, belum dapat dilengkapi penyidik dari Markas Besar Kepolisian RI.
Hal-hal yang belum dapat dilengkapi itu antara lain mengenai kepastian kerugian negara. Sejauh ini, yang dibandingkan hanya lah cicilan Rp 16 juta dengan nilai kontrak pembelian mesin turbin. Terdapat tiga kontrak, yang belum dipastikan, mana yang digunakan sebagai pembanding.
Menurut salah seorang jaksa yang mengerti penanganan perkara Eddie Widiono, pembelian dua mesin turbin itu memang belum lunas. Dengan demikian, proses pembayaran masih berjalan. Apakah betul ada mark up? kata jaksa itu.
Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Paulus Purwoko, hal itu menyangkut perbedaan persepsi hukum. Kejaksaan menurut Paulus menganggap polisi belum dapat memenuhi kelengkapan kesaksian dan sejumlah materi pembuktian.
Misalnya, kami tidak dapat menghadirkan kesaksian seseorang yang merupakan warga negara Australia. Sementara, menurut polisi tanpa kesaksian warga Australia itu sudah cukup, ujar Purwoko.
Menurut Pengacara Eddie, Maqdi Ismail, warga Australia itu yaitu McDonald, yang merupakan rekanan Direktur Utama PT Cipta Guna Mandiri Johannes Kennedey Aritonang. Maqdir menambahkan, sebenarnya McDonald telah melakukan affidavid, yaitu memberikan kesaksian secara tertulis kepada polri. Namun, sistem hukum kita tidak mengenal cara itu, ujar Maqdir.
Menurut jaksa itu, yang dapat dilakukan paling jauh adalah berkompromi, sehingga jaksa memberikan status P-22. Dengan demikian, maka perkara itu diserahkan kepada jaksa, untuk dilakukan pemeriksaan tambahan. Kalau P-21, jaksa sama sekali tidak bersedia. Paling mungkin jadi P-22 dan menjadi beban jaksa, kata jaksa itu.
Selain itu, masih belum ada kejelasan mengenai pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni perihal penyertaan dalam tindak pidana. Perkara pokoknya masih ragu. Kan ada kerja sama, turut serta, dan sebagainya,kata jaksa yang tidak mau disebut namanya itu.
Bahkan, jaksa menilai, masih diperlukan keterangan satu saksi lagi. Ketiga hal yang belum dilengkapi ini sudah disampaikan jaksa bersama dengan dikembalikannya berkas pemeriksaan ke penyidik polisi, Jumat (25/8) lalu. Namun, saat diserahkan lagi kepada kejaksaan, Senin (28/8) lalu, tiga hal ini masih belum dilengkapi polisi. (SF/IDR)
Sumber: Kompas, 31 Agustus 2006