Korupsi (Kembali) Menyengat PLN
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Eni Maulani Saragih (EMS) yang merupakan anggota DPR RI Fraksi Golkar dan Wakil Ketua Komisi VII bidang energi, riset dan teknologi, serta lingkungan. EMS diduga menerima suap hingga Rp4,8 miliar yang merupakan uang komitmen 2,5% dari nilai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau-1. Nilai investasi proyek ini mencapai US$900 juta dengan perencanaan kapasitas 2 x 300 MW dan target komersial pada 2023.KPK turut menangkap Johanes Budisutrisno Kotjo (JBK) yang disebut sebagai pemegang 4,3% saham BlackGold Natural Resources Limited (BlackGold) Singapura.
Pembangunan PLTU MT didukung Keputusan Menteri ESDM Nomor 1567 K/21/MEM/2018 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2018-2028 yang mewajibkan PLN untuk mengutamakan membangun PLTU MT. Skema penunjukan langsung sebagaimana pasal 6 ayat 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Batu Bara untuk Pembangkit Listrik dan Pembelian Kelebihan Tenaga Listrik juga dimungkinan. Model ini menjadi titik rawan terjadinya korupsi selama tidak ada kriteria yang jelas dalam proses memilih rekanan.
Celah korupsi di sektor ketenagalistrikan terdapat di sepanjang rantai bisnis. Contoh kasus korupsi PLTU yang sudah diputus antara lain kasus penggelembungan harga lahan PLTU Sumuradem, Kabupaten Indramayu oleh mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin, kasus pembebasan lahan PLTU Bunton, Kabupaten Cilacap yang melibatkan mantan Sekretaris Daerah Suprihono, dan kasus PLTU Tarahan, Lampung yang menjerat politisi PDIP Emir Moeis. Kasus PLTU MT Riau-1 ini semakin memperpanjang praktik korupsi sektor infrastruktur. Dalam catatan ICW, sepanjang tahun 2017 terdapat 158 kasus korupsi sektor infrastruktur dengan total nilai kerugian negara mencapai Rp1,1 triliun.
Tampaknya, Pemerintah perlu memperjelas dan memperketat aturan teknis pelaksanaan pembangunan proyek PLTU agar ke depan tidak ada lagi praktik suap dalam pelaksanaan proyek. KPK juga perlu menelusuri keterlibatan pihak-pihak lain yang memiliki keterkaitan terhadap kasus ini dan menelusuri aliran dananya karena disinyalir uang suap yang diberikan terkait pembahasan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Power Purchasing Agreement/PPA).
Perlu juga untuk mencari penerima manfaat utama (ultimate beneficial owner) dari setiap perusahaan yang terlibat. Dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemiliki Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme, atau yang lebih dikenal dengan Perpres Beneficial Ownership, disebutkan bahwa pemilik manfaat merupakan orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi.
Tidak hanya itu, keterlibatan korporasi juga perlu didalami. Penetapan korporasi sebagai tersangka korupsi sangat dimungkinkan. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa subyek hukum pelaku korupsi tidak hanya orang, tetapi juga badan hukum atau korporasi. Apakah tindakan JBK dilakukan oleh dan/atau atas nama BlackGold atau PT SB? Pada Januari 2018 ketika Letter of Intent (LoI) ditandatangani, JBK masih bertugas sebagai konsultan BlackGold. Jika ya, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.*** (Mouna/Adnan)