Korupsi Kronis dalam Institusi Ekstra-Legal
Selama saya memfasilitasi kegiatan pencegahan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terutama pelaksanaan Nota Kesepahaman Bersama/Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam dalam empat tahun terakhir, terlihat institusi ekstra-legal menjadi salah satu masalah yang mencuat. Dari pengalaman itu, ada empat hal yang dapat dicatat.
Pertama, korupsi terjadi karena terdapat struktur kepemerintahan berupa jaminan atas kesetiaan, baik dalam bentuk peraturan maupun sekadar kebiasaan. Misalnya, rendahnya fasilitas dan gaji yang diterima pengawas produksi hutan dan tambang membuat pengawas lapangan seperti dijebak melakukan kesalahan, termasuk dijebak sebagai perangkat perusahaan dengan gaji bulanan.
Kajian terhadap biaya transaksi perizinan kehutanan di Kalimantan Tengah dan Timur oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK menunjukkan kenyataan ini. Mereka harus setia, bukan hanya kepada perusahaan yang diawasi, tapi juga kepada atasannya untuk perintah yang diberikan, benar ataupun salah. Di situlah terwujud jalinan pemberi, pengawas, dan penerima izin sehingga tidak mungkin mereka melaporkan perbuatan sesamanya. Kerugian negara, yang dihitung KPK pu-luhan triliun rupiah setiap tahun, itu sama sekali tidak berhubungan dengan risiko atas hubungan-hubungan ini.
Kedua, korupsi tidak selalu akibat perilaku korup, peraturan tak berjalan, atau lemahnya penegakan hukum. Korupsi terjadi lebih karena adanya institusi ekstra-legal, yaitu suatu jaringan yang dipelihara oleh kekuasaan yang secara de facto melebihi kekuasaan legal negara. Dalam revitalisasi ekosistem Tesso Nilo di Riau, misalnya, ditemukan adanya suatu wilayah eksklusif di dalam Taman Nasional Tesso Nilo di bawah institusi ekstra-legal seperti itu. Seorang polisi yang mengikuti evaluasi kegiatan tersebut di Pekanbaru, 24 Januari 2017, menyebutkan pentingnya operasi gabungan dari pusat karena kuatnya jaringan di dalamnya. Dalam hal ini, korupsi dapat dipahami sebagai jaringan transaksional yang berjalan secara sistematis dengan melibatkan kepercayaan, pengkhianatan, penipuan, subordinasi untuk kepentingan tertentu, kerahasiaan, dan keterlibatan beberapa pihak yang saling menguntungkan.
Ketiga, pencegahan korupsi yang dilakukan berdasarkan pendekatan klasik oleh Robert Klitgaard (1988) dapat dianggap tidak selalu tepat, terutama dalam perkara diskresi. Dalam pendekatan Klitgaard, korupsi diatasi dengan mencegah terjadinya kewenangan berlebihan atau monopoli, mengurangi terjadinya diskresi, serta meningkatkan akuntabilitas. Padahal kegiatan di lapangan yang didasarkan pada regulasi, keuangan, dan pengawasan justru dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, sehingga perlu diskresi.
Hal itu dibuktikan oleh pimpinan daerah yang memenangi Nirwasita Tantra 2016, yaitu penghargaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap penilaian kepemimpinan mereka dalam pengelolaan lingkungan hidup. Diskresi dan keterbukaan informasi sebagai inovasi pendayagunaan birokrasi, anggaran, dan kegiatan umumnya dilakukan oleh pimpinan daerah itu.
Keempat, hasil analisis regulasi perizinan kehutanan oleh KPK dengan pendekatan corruption impact assessment pada 2013 menunjukkan hal serupa. Teknik-teknik tertentu dalam penetapan otoritas dan tanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya hutan yang ditetapkan secara legal justru menjadi penyebab terjadinya korupsi. Misalkan, pengawas perizinan dari berbagai instansi harus datang ke perusahaan. Namun, karena banyaknya instansi yang harus mengawasi, dalam satu tahun, suatu perusahaan dapat kedatangan pengawas selama 278 hari. Akomodasi pengawas itu ditanggung perusahaan.
Lembaga negara yang korup merupakan konfigurasi institusional yang membentuk cara berpikir keliru pun menjadi biasa. Terbentuknya budaya korupsi cenderung membiarkan konflik etik ataupun membiarkan rasionalitas yang bertentangan dengan kenyataan.
Untuk mencegah korupsi kronis itu diperlukan inovasi pendekatan. Pengembangan pendekatan Klitgaard oleh Sandoval-Ballesteros (2013), yang disebut sebagai structural corruption approach (SCA), dapat menjadi alternatif pilihan. Dengan perhatian lebih berfokus pada penyalahgunaan wewenang dan impunitas akibat perlindungan politik, maka peningkatan partisipasi dan keterbukaan informasi bagi publik harus diwujudkan. Proses dan penerima izin yang berbasis sumber daya alam perlu diumumkan nama dan lokasinya serta jabatan pemberi rekomendasi dan penetapan izinnya. KPK dan segenap pegiat antikorupsi diharapkan dapat mengawasi lahirnya kebijakan tersebut oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah.
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB
-------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 9 Februari 2017, dengan judul "Korupsi Kronis dalam Institusi Ekstra-Legal".