Korupsi Mengancam Pembangunan Pendidikan
Korupsi di dunia pendidikan mengancam pembangunan pendidikan. Kenaikan anggaran pendidikan yang diperjuangkan dengan susah payah perlu disertai pengawasan publik.
Kondisi tersebut antara lain tercermin dalam kajian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) dan disampaikan dalam jumpa pers, Senin (4/5). Chitra Septyandrica, peneliti dan Program Manager Pattiro, mengatakan, masih terjadi penyimpangan anggaran pendidikan. Pattiro bersama bersama Brooking Institution dari Amerika meneliti 137 proyek sebagai percontohan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dan Kabupaten Serang, Banten, pada tahun 2008. Penelitian terhadap 30 sekolah negeri dan 10 sekolah swasta jenjang SD dan SMP.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat tujuh pola penyimpangan yang terjadi, yakni pengucuran dana tidak sesuai kebutuhan sekolah, keterlambatan pencairan, penyimpangan cara penyaluran, potongan tidak wajar, belanja tidak sesuai peruntukan, pengurangan hasil, serta kebocoran dalam alokasi, penggunaan dan audit dana.
Skema penyaluran anggaran ke sekolah juga rumit dan setiap skema mempunyai aturannya masing-masing. Selain itu, transparansi anggaran sangat rendah.
Gambaran karut marutnya pengelolaan anggaran pendidikan disampaikan pula oleh Febri Hendri, peneliti dari ICW. Lembaga tersebut mengambil contoh kasus-kasus korupsi anggaran pendidikan di delapan provinsi, yakni Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2007 dan 2008.
Terdapat 36 kasus di daerah-daerah tersebut yang sampai di tingkat kejaksaan dan melibatkan 63 orang tersangka. Tersangka terbanyak yakni sebanyak 14 orang ialah pejabat di dinas pendidikan. Pelaku selebihnya antara lain staf pemerintah daerah, pimpinan proyek, dan kepala sekolah.
Febri mengatakan, modus yang paling banyak ialah penggelembungan, penggelapan, dan manipulasi anggaran. Namun, ada pula modus penyuapan dan pungutan liar, terutama berkaitan dengan kewenangan pencairan anggaran. Modus paling banyak menimbulkan kerugian negara ialah manipulasi anggaran dengan kerugian sekitar Rp 110,7 miliar. (INE)
Sumber: Kompas, 5 Mei 2009