Korupsi Oknum Hakim Konstitusi
Kamis (26/1) adalah hari yang paling naas bagi Patrialis Akbar, hakim di Mahkamah Konstitusi.
Ketika semua hakim konstitusi seharusnya rapat kerja di Cisarua, Bogor, Patrialis justru merapat ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka korupsi. Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK membuat Patrialis tak berkutik. Dia disangka menerima suap 20.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging sapi. Suap itu terkait uji materi UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sedang ditangani MK.
Patrialis adalah hakim konstitusi yang kedua ditangkap KPK karena kasus korupsi. Sebelumnya (2013), KPK menangkap hakim sekaligus ketua MK, Akil Mochtar, karena menerima suap Rp 57,78 miliar dan 500.000 dollar AS. Suap itu terkait pengurusan 15 sengketa pilkada. Akil dijerat berlapis dengan dua regulasi, yaitu tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Pada akhirnya Mahkamah Agung menyatakan Akil terbukti bersalah dan divonis penjara seumur hidup.
Potensi korupsi hakim konstitusi muncul ketika MK memeriksa dan mengadili penyelesaian sengketa pemilihan umum (pemilihan presiden, parlemen, dan kepala daerah) dan uji materi terhadap UU. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat mendorong tidak sedikit pihak berupaya menyuap hakim agar perkaranya menang di MK.
Pola umum korupsi di MK adalah penyuapan atau pemerasan. Artinya, korupsi dapat muncul karena inisiatif dari pihak yang beperkara atau karena adanya permintaan ataupun pemerasan dari hakim konstitusi kepada pihak yang beperkara atau terkait perkara. Modus yang sering digunakan adalah pengaturan putusan sesuai permintaan dan membocorkan naskah putusan yang belum resmi dibacakan. Nilai transaksi suap yang diterima jumlahnya beragam. Dalam kasus Akil Mochtar, nilai suap terkecil Rp 500 juta dan paling tinggi Rp 19 miliar.
Sulit mengatakan bahwa penyebab korupsi di MK akibat rendahnya tingkat kesejahteraan. Tunjangan dan fasilitas bagi hakim konstitusi saat ini tergolong cukup tinggi dibandingkan dengan pejabat publik lainnya. Berdasarkan PP No 55/2014, hakim konstitusi mendapat jaminan dan kesejahteraan berupa gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun, dan tunjangan lainnya. Tunjangan jabatan hakim konstitusi Rp 72 juta setiap bulan, sedangkan ketua MK Rp 121 juta per bulan.
Dua penyebab
Selain masalah rendahnya integritas, ada dua hal lain yang jadi penyebab munculnya praktik korupsi oleh hakim konstitusi. Pertama, proses perekrutan hakim konstitusi sering bermasalah. Hakim konstitusi berasal dari tiga jalur: DPR, MA, dan Presiden. UU MK secara tegas menyatakan proses pemilihan hakim konstitusi wajib diselenggarakan secara obyektif, akuntabel dan partisipatif. Namun, faktanya, tidak semua institusi menjalankan amanat ini. Akibatnya rekam jejak dan sikap kenegarawanan hakim konstitusi yang ditunjuk untuk mewakili institusi sering kali dipersoalkan sejumlah pihak.
Misal, pada 2013, ketika Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi dari jalur Presiden. Keputusan penunjukan ini dipersoalkan dan digugat oleh Koalisi Masyarakat Sipil ke pengadilan tata usaha negara. Koalisi menilai proses pemilihan Patrialis oleh SBY tidak dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Meski digugat dan dipertanyakan integritasnya, Presiden SBY tetap saja melantik Patrialis.
Kedua, belum efektifnya pengawasan terhadap hakim konstitusi. Fungsi pengawasan internal MK saat ini hanya mengandalkan keberadaan Dewan Etik MK. Selain karena kewenangannya yang terbatas, sanksi yang diberikan Dewan Etik MK terhadap hakim konstitusi yang melanggar etika juga masih tergolong ringan dan tidak memberikan efek jera. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya lembaga pengawas eksternal yang mengawasi perilaku hakim konstitusi. Sebab, pada 2006, MK menghapus ketentuan yang mengatur kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi.
Terungkapnya praktik korupsi di MK sungguh ironis dan dapat dipastikan akan menurunkan citra serta kepercayaan lembaga ini. Ketika Ketua MK Akil Mochtar ditahan KPK, jajak pendapat harian Kompas menyebutkan citra positif lembaga ini merosot drastis dari 65,2 persen (Maret 2013) menjadi hanya 8,8 persen (Oktober 2013). Padahal, sebelumnya citra MK hampir mendekati KPK yang citra positifnya tertinggi di mata publik (Kompas, 2015).
Oleh karena itu, untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan publik terhadap MK serta sekaligus mencegah berulangnya korupsi di MK, maka perlu ada langkah luar biasa yang harus segera dilakukan. Agar komprehensif, langkah yang ditempuh harus meliputi upaya penindakan dan pencegahan.
Sebagai bagian aspek penindakan, KPK perlu menelisik kemungkinan keterlibatan oknum lain di luar Patrialis Akbar. Untuk memberikan efek jera dan pelajaran bagi hakim lainnya, Patrialis sebaiknya tidak saja dituntut penjara secara maksimal, tetapi perlu juga dimiskinkan dengan menggunakan UU Pencucian Uang.
Adapun pada bagian pencegahan, ke depan, proses pemilihan hakim konstitusi sebaiknya dilakukan oleh panitia seleksi yang independen agar dapat menghasilkan figur yang kredibel, berintegritas, dan berjiwa negarawan. Selain itu, pengawasan terhadap hakim konstitusi perlu ditingkatkan dan diperluas. Tidak saja memperkuat kewenangan Dewan Etik selaku pengawas internal, MK sebaiknya juga membuka ruang bagi masuknya pengawas eksternal seperti KY dan masyarakat untuk mengawasi perilaku para hakim konstitusi.
EMERSON YUNTHO, ANGGOTA BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH
-------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul "Korupsi Oknum Hakim Konstitusi".