Korupsi Para Anggota DPRD karena Aturannya Tak Mengikat
BANDUNG - Maraknya kasus korupsi yang dilakukan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di berbagai daerah dinilai pengamat politik Eep Saefulloh Fatah sebagai indikasi bahwa politisi di Indonesia baik yang berada di tingkat daerah maupun pusat, tidaklah mempunyai iktikad dan kemauan politik yang baik untuk menegakkan hukum. Mereka malah sengaja membuat celah aturan sebagai instrumen melakukan korupsi.
Menurut Eep ada dua hal yang menyebabkan anggota DPRD melakukan tindakan korupsi dengan dalih ada aturan normatif dalam mengalokasikan dana yang diindikasikan korupsi tersebut.
Mereka hanya memandang aturan itu sebagai sebuah instrumen yang dibuat oleh pihak yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Contohnya, adalah aturan kesehatan yang bisa diterapkan untuk menjadi dalih penghentian pemeriksaan terhadap mantan Presiden Soeharto.
Tapi di sisi lain aturan kesehatan juga dapat dibuat untuk menjegal Gus Dur menjadi salah seorang calon presiden, ujarnya seusai menyampaikan orasinya pada wisuda sarjana IX tahun 2004 di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bagasasi Bandung, Rabu (16/6).
Sementara itu, Staf Pusat Studi Hukum & Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK ODA) Provinsi Jambi, Rivani Noor, yang ditemui Pembaruan di Jambi Jumat (18/6) menegaskan, kasus-kasus korupsi di Jambi terus berlangsung dan sulit diberantas karena tindakan korupsi dilakukan secara sistematis dan melibatkan banyak oknum dari berbagai lembaga pemerintahan dan legislatif.
Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tersebut bahkan sudah menjadi bagian kehidupan oknum-oknum pejabat pemerintah dan aparaturnya, oknum-oknum wakil rakyat hingga oknum-oknum penegak hukum.
Lebih lanjut Eep Saefullah mengungkapkan, aturan yang ada itu pada akhirnya bisa begitu fleksibel tergantung siapa yang menginterpretasi, disebabkan oleh faktor pelaku di dalamnya.
Selain itu, Eep menjelaskan para politisi Indonesia bejumlah mempunyai prioritas untuk menyelesaikan perbaikan Indonesia. Sehingga terjadilah pertemuan antara aturan yang begitu fleksibel sebagai instrumen dan ketiadaan etos dari pelaku politik untuk menegakkan hukum pada relnya. Aturan-aturan di daerah dalam kaitan otonomi daerah, bukan menekan korupsi tapi malah menjadi pendorong desentralisasi korupsi, tuturnya.
Jambi
Menurut Rivani Noor, kasus-kasus KKN yang melibatkan oknum-oknum pejabat dan aparatur pemerintah terjadi mulai dari penerimaan pegawai negeri sipil, pengurusan izin-izin usaha, tender dan pelaksanaan proyek pembangunan dan sebagainya. Kasus KKN yang melibatkan oknum-oknum legislatif terjadi mulai dari pemilihan kepala daerah, pengesahan peraturan daerah, penyampaian laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah, pembahasan dan penetapan APBD serta penyalahgunaan anggaran DPRD untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Sedangkan kasus-kasus KKN yang diduga banyak terjadi di lembaga yudikatif antara lain pengusutan kasus-kasus KKN yang melibatkan pejabat, pemeriksaan proyek-proyek pembangunan, penertiban praktik-praktik penyelundupan, pencurian kayu dan prostitusi.
Menurut Rivani, pemberantasan kasus KKN di daerah tersebut sulit dilakukan kalau hanya dilakukan secara tanggung-tanggung. Karena korupsi sudah terjadi secara sistematis atau sudah menggurita, maka pemberantasannya pun harus dilakukan secara sistematis dan tegas.
Untuk memberantas masalah korupsi harus dengan pendekatan yang sistematik karena korupsi itu sendiri terjadi secara sistematis. Artinya pemberantasan korupsi harus dilakukan mulai dari jenjang paling tinggi (pejabat) hingga ke tingkatan pegawai rendah, ujarnya.
Rivani mengatakan, praktik-praktik korupsi yang terjadi di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif selama otonomi daerah ini semakin merajalela karena adanya peluang-peluang bagi daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri.
Kepala daerah dan dewan yang memiliki kekuasaan terlalu otonom mengatur daerahnya membuat mereka semau gue memanfaatkan uang negara yang pengelolaannya diberikan kepada mereka. Sementara pengawasan penggunaan uang negara tersebut sangat kurang. (ADI/141)
sumber: suara pembaruan