Korupsi; Pejabat Dinilai Lemah Kampanye Antisuap
Tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberantas suap dan korupsi belum sepenuhnya memicu para pejabat untuk melakukan kampanye antisuap dan korupsi.
Demikian yang mencuat dalam diskusi Suap dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi di DPP Partai Golkar, Jakarta, kemarin. Hadir dalam diskusi itu antara lain Todung Mulya Lubis, Ketua Umum Kadin MS Hidayat, dan Staf Ahli Menteri BUMN/Ketua Tim Investigasi Korupsi untuk BUMN Lendo Novo.
Todung mengatakan, semestinya dengan pencanangan pemberantasan korupsi oleh Presiden Yudhoyono, pejabat dan pegawai-pegawai di departemen pemerintah menindaklanjutinya dengan gerakan yang sama.
Dengan demikian, katanya, departemen-departemen diharapkan menjadi wilayah-wilayah yang punya integritas dalam pemberantasan suap dan korupsi. Di kantor-kantor departemen semestinya terpampang semangat dan moto antisuap dan antikorupsi, jelasnya.
Mengenai peran Timtas Tipikor, kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas siap dan korupsi, Todung menegaskan, institusi itu harus mendapat back up dari semua unsur di masyarakat dan partai politik. Apakah Golkar bersedia menyatakan dirinya antisuap dan antikorupsi? kalau bersedia, bukan saja dalam pernyataan tetapi juga dalam tindakannya, maka partai ini bisa menjadi kekuatan politik yang betul-betul menjadi 'soko guru perjalanan bangsa, kata Todung.
Sementara itu, Ketua DPP Golkar Muladi menyatakan, Golkar bertekad untuk ikut memberantas suap dan korupsi. Setidaknya hal itu mulai ditunjukkan Golkar dalam pilkada lalu walaupun calon yang diajukan Golkar tak sedikit yang mengalami kekalahan.
Muladi menjelaskan betapa bahayanya korupsi politik dalam berbagai bentuk. Dengan politik korupsi termasuk dengan membeli suara dari publik, program pertama yang dilakukan seorang kepala daerah yang terpilih melalui suap dan korupsi adalah mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk membiayai kemenangannya.
Korupsi politik akan menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan untuk mencari kekayaan atau mempertahankan kekuasaan.
Penyuapan-penyuapan dalam pilkada memang bukan sesuatu korupsi karena merupakan lex specialis dan ada aturan tersendiri dalam pilkada, namun seolah-olah ada pembiaran dan pembenaran. Itu sesuatu yang sangat menyakitkan, katanya.
Terlebih lagi, kata Muladi, keadaan seperti itu seolah-olah pemerataan pendapatan. Hal ini memancing terjadinya korupsi di masa mendatang. Dengan vote buying mereka akan memperhitungkan returning investment, katanya.
Muladi mengungkapkan, untuk satu kali putaran pilkada seorang bupati bisa menghabiskan Rp10 miliar. Untuk gubernur, nilainya lebih tinggi lagi. Pada pilkada yang lalu, untuk ukuran nasional, diperkirakan investasi politik di tingkat lapangan mencapai sekitar Rp17 triliun.
Kita akan bisa bayangkan negara ini akan dikuasai calon korupsi. Kalau bukan pengusaha ya.. maling. Ini jangan ditertawakan karena betul-betul sesuatu yang serius, katanya. (Ant/P-5)
Sumber: Media Indonesia, 27 Juli 2005