Korupsi; Penggelapan Pajak Rp 300 Miliar Diungkap

Unit Pidana Umum Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya mengungkap praktik penggelapan pajak yang jumlahnya diperkirakan Rp 300 miliar. Sepuluh tersangka telah ditahan dan kepolisian pun terus mengembangkan kasus ini.

Salah satu tersangka yang ditahan adalah Suhartanto atau dikenal dengan Tanto (33). Laki-laki yang sehari-hari bertugas sebagai juru sita itu berstatus pegawai negeri sipil di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Rungkut, Surabaya.

”Dari satu korban, angka penggelapan pajak Rp 934 juta, padahal terdapat 350 surat setoran pajak (SSP) yang digelapkan. Kami perkirakan secara keseluruhan mencapai Rp 300 miliar,” kata Komisaris Besar Ike Edwin, Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya, didampingi Kepala Satuan Reserse Kriminal Polwiltabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Anom Wibowo, Minggu (18/4).

Pengungkapan praktik penggelapan ini merupakan pengembangan dari temuan bermodus penipuan dengan kedok jasa pengurusan pajak di Surabaya, akhir Maret lalu. Ketika itu, delapan tersangka diamankan karena terlibat praktik penipuan dengan peran berbeda-beda.

Hingga kini, Polwiltabes Surabaya telah melakukan penahanan terhadap 10 tersangka. Mereka adalah Fatchan (45), Iwan Rosyidi (28), Mochamad Mutarozikin (33), Gatot Budi Sambodo (42), Herlius Widhia Kembara (26), Totok Suratman (37), Moch Soni (35), Siswanto (35), Enang Yahyo Untoro (38), dan Suhartanto (33).

”Siswanto dan Enang merupakan mantan petugas kebersihan di kantor pajak, sedangkan Suhartanto sehari-hari bertugas sebagai juru sita di KPP Rungkut, lainnya merupakan pegawai swasta,” tutur Anom.

Kasus itu bermula sekitar dua bulan lalu ketika David Sentono, Direktur PT Putra Mapan Sentosa di Kompleks Ruko Mangga Dua, Surabaya, menerima surat teguran karena tidak memenuhi kewajibannya membayar pajak.

Persoalannya, David menggunakan jasa Konsultan Pajak Agustri Junaidi untuk menunaikan kewajiban tersebut. ”Belakangan diketahui bahwa para tersangka memalsukan 34 lembar SSP senilai Rp 934 juta,” papar Edwin.

Menurut polisi, pemalsuan dilakukan dua staf dari Konsultan Pajak Agustri Junaidi, yaitu Fatchan (45) dan Iwan Rosyidi (28), yang bertugas mengambil SSP dan uang tunai dari David Sentono. Prosedur yang benar, keduanya menyetorkannya ke bank untuk memperoleh bukti penerimaan uang berupa validasi. Sebagai penyedia jasa, Agustri memperoleh honor Rp 800.000 per bulan. Selanjutnya pengurusan pajak tidak ditangani sendiri, melainkan diserahkan kepada penyedia jasa lainnya.

Akhirnya uang dari korban mengalami pemotongan. Tersangka Fatchan dan Iwan tetap mengantongi bukti penerimaan uang walau tidak menyetor ke bank. Bukti penerimaan tersebut atas ”jasa” yang melibatkan pihak lain, yaitu tersangka Siswanto (35) melalui tersangka Mutarozikin (33).

Tiga modus
Berdasar keterangan dan alat bukti, polisi menemukan bahwa para tersangka beroperasi menggunakan tiga modus.

Pertama, tersangka mengganti nama dan alamat wajib pajak sehingga pemeriksaan sulit ditelusuri. Kedua, uang setoran pajak tetap dibayarkan, tetapi dengan jumlah di bawah angka yang harus disetorkan. ”Hanya saja, walau jumlahnya kurang, semuanya tetap dianggap beres karena seolah-olah pembayaran sudah sesuai yang harus dibayarkan,” tutur Edwin. Modus ketiga, penggelapan dengan cara menghapus nama wajib pajak.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat menggunakan Pasal 372 KUHP dan 263 Ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 KUHP karena bersama-sama melakukan penggelapan dan atau menggunakan surat palsu. Untuk Pasal 372, mereka diancam sanksi maksimal empat tahun penjara. Adapun pelanggaran Pasal 263 ayat (2) diancam sanksi paling lama enam tahun penjara.

Koruptor dihukum mati
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, hukuman mati bagi koruptor harus segera diterapkan. Dalam kasus tertentu, hukuman mati perlu dijatuhkan untuk menimbulkan efek jera.

Mahfud MD mengingatkan, empat tindak kriminal yang dapat diganjar dengan hukuman mati adalah terorisme, pembunuhan berencana, narkoba, dan korupsi. ”Jenis sanksi ini bisa diterapkan untuk kasus-kasus tertentu, misalnya melibatkan oknum penegak hukum, jadi bukan semata-mata menggunakan pertimbangan nominal yang dikorupsi,” kata Mahfud di sela-sela temu alumni Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, di Surabaya, Minggu kemarin.

Menurut Mahfud, momentum memberlakukan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya bisa diterapkan pada awal 2000, awal reformasi lalu. Namun, sampai kini penegak hukum belum menerapkan hukuman mati dalam kasus korupsi. ”Mahkamah Konstitusi juga telah membuat putusan menyetujui hukuman mati,” ujarnya. (BEE)
Sumber: Kompas, 18 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan