Korupsi Politik di Parlemen
Korupsi politik di parlemen merupakan kejahatan yang sifat berbahayanya lebih dahsyat dibandingkan korupsi yang dilakukan oleh orang yang tak memiliki kekuasaan politik. Dampak sosial-politik dan ekonominya sangat luas karena mempergunakan kewenangan politik dan sarana kekuasaan yang ada pada pelaku korupsi tersebut.
Korupsi politik yang terjadi di parlemen merupakan salah satu bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat, khususnya konstituen pemilihnya. Korupsi politik di parlemen dilakukan dengan cara memperjualbelikan kekuasaan elektoral demi keuntungan pribadi.
Korupsi kekuasaan elektoral
Kekuasaan dalam negara modern merupakan manifestasi dari kekuasaan rakyat, sejatinya merupakan amanat rakyat kepada pemegang kekuasaan negara untuk dilaksanakan sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. Manipulasi pelaksanaan kekuasaan secara moral dan hukum merupakan korupsi kekuasaan. Entitas korupsi politik terjalin berseanyaman dengan praktik pelaksanaan kekuasaan.
Praktik korupsi kekuasaan itu muncul dalam berbagai corak dan variasinya karena terkait dengan jenis dan tingkat penyalahgunaan wewenang, kesempatan, dan sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan penguasa politik. Korupsi kekuasaan di parlemen merugikan perjalanan demokrasi politik bangsa Indonesia karena wakil rakyat yang memiliki mandat kekuasaan elektoral yang harus dibelokkan menjadi perilaku transaksional yang kolutif.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat maupun daerah merupakan representasi dari rakyat pemilihnya sehingga akan memengaruhi kepercayaan konstituennya jika para wakil yang dipilihnya terlibat korupsi.
Dalam kacamata hukum, unsur inti dari korupsi adalah memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang mempunyai hubungan kausal dengan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Hak sosial ekonomi rakyat dan hak berkehidupan layak segenap warga negara menjadi sirna jika hak-hak strategis tersebut diambil penguasa politik yang justru diberi mandat memperjuangkan peningkatan kemakmuran rakyat.
Ironi demokrasi
Berbeda dengan korupsi biasa, korupsi politik di parlemen bersifat struktural. Pada masa Orde Baru, pemerintah biasa menyelesaikan korupsi politik dengan cara menyembunyikan di bawah karpet. Sikap demikian tidak lepas dari watak dasar korupsi politik yang merupakan bagian dari mesin kekuasaan. Kekuasaan politik anggota parlemen sejatinya bukan dimiliki, tetapi merupakan artefak dan titipan dari pemilihnya. Dalam negara Indonesia yang demokratis egaliter, tidak ada tempat sakral bagi institusi atau kebal hukum bagi orang untuk diadili atas dakwaan korupsi.
Korupsi politik di parlemen menimbulkan kekaburan antara ketidakmampuan dan ketidakjujuran di mata rakyat pemilihnya. Dalam melihat korupsi politik di parlemen Italia yang memiliki hubungan erat dengan mafia pada tahun 1993, Amartya Sen (1999 : 277) mengelaborasi tindakan korupsi yang dilatarbelakangi alasan relative justice dengan dalih bahwa orang lain juga melakukan jual-beli kekuasaan seperti itu (others do the same).
Dalam buku Glass Houses, Shocking Profiles of Congressional Sex Scandals and Other Unofficial Misconduct, SG Hilton dan AR Testa (1998) memaparkan tingkah laku menyimpang dari 38 anggota kongres Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan betapa penyakit kanker korupsi politik dapat menyerang tubuh negara berkembang atau negara maju karena korupsi politik menyangkut rohani pemegang kekuasaan politik yang memanipulasi kekuasaan milik rakyat.
Sangat berbahaya bagi tubuh negara Indonesia jika tidak menyadari bahwa dirinya telah terserang kanker ganas korupsi politik. Pemerintah China berhasil melakukan operasi by pass kanker korupsi dan secara terbuka sejak tahun 2000 menempatkan korupsi sebagai musuh nomor satu. Hasilnya telah memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonominya dan kepercayaan publik internasional.
Fenomena terkuaknya anggota parlemen yang tersangkut perkara korupsi menjadi ironi demokrasi dan harus menjadi petunjuk bagi bangsa Indonesia untuk terus mengibarkan bendera perang terhadap korupsi agar perjalanan negara kita tidak tersandera mentalitas korup kolektif yang melekat pada tingkah laku kekuasaan politik di Indonesia. Anggota parlemen kita merupakan figur sentral dan representasi dari rakyat Indonesia.
Negara Indonesia sedang ditantang untuk dapat merawat momentum demokrasi yang telah dicapai. Bangsa Indonesia harus cerdas merespons fenomena korupsi politik, baik secara penal maupun nonpenal, agar fenomena sikap korup tidak menjadi konvensi atau kebiasaan umum tingkah laku politik di Indonesia. Saat yang sama rakyat Indonesia harus bersikap kritis secara politis dengan tidak memilih kembali anggota parlemen yang telah terbukti melakukan korupsi.
Artidjo Alkostar Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia; Mantan Direktur LBH Yogya
Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 Agustus 2008