Korupsi Sekolah Bersifat Sistemik
Praktik korupsi di sekolah sulit dibongkar. Indonesia Corruption Watch (ICW), berkali-kali menemui 'tembok tebal' saat mengawal penanganan kasus korupsi di tujuh sekolah di Jakarta.
Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Inspektorat, Gubernur DKI, kompak menyatakan tidak ada penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), dan block grant Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Sementara, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berbicara lain. BPK menemukan indikasi kerugian negara senilai Rp 5,7 miliar, setelah mempelajari laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana di SMPN 30, SMPN 84, SMPN 95, SMPN 28, SMPN 190, SMPN 67, serta SDN 012 RSBI Rawamangun Jakarta.
Tiga tahun kasus itu bergulir di lembaga penegak hukum, namun hingga kini belum terlihat adanya titik terang. Upaya terakhir yang dilakukan ICW bersama Koalisi Anti korupsi Pendidikan, mengadukan lambatnya penanganan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK dinilai berhak melakukan supervisi agar Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tak main-main menangani kasus ini.
Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, sulitnya membongkar kasus korupsi pendidikan terjadi karena sejumlah pihak berkepentingan untuk menutup borok."Bukan cuma bicara kepentingan guru dan sekolah, tapi juga kepala Dinas, bahkan Kepala Daerah," terang Ade.
Berikut petikan wawancara ICW dengan Ade Irawan.
Mengapa korupsi di sekolah sulit diungkap?
Ketika membahas isu korupsi di sekolah, kita bukan cuma bicara kepentingan guru dan sekolah. Tapi juga Kepala Dinas, bahkan Kepala Daerah, semuanya punya kepentingan untuk terus memelihara praktik busuk itu. Dipelihara karena ada setoran ke atas. Semua orang punya kepentingan untuk menghalangi upaya pemberantasan korupsi di sekolah. Di sisi lain, pemerintah pusat lepas tangan, berdalih pertanggungjawaban telah diserahkan kepada pemerintah daerah.
Hambatan dari sisi internal sekolah?
Relasi antara kepala sekolah dan unsur lain di sekolah tidak imbang. Posisi Kepala sekolah sangat kuat, tidak bisa diawasi. Komite sekolah, yang diharapkan mampu mewakili peran guru, masyarakat dan orangtua siswa, justru menjadi "bawahan" Kepsek, karena komite umumnya dibentuk dan dipilih oleh Kepsek.
Selain itu, korupsi diperparah akibat tata kelola anggaran sekolah yang buruk. Penyusunan Rencana Anggaran Pengeluaran dan Belanja Sekolah (RAPBS) tidak dilakukan secara partisipatif. Semua ada di tangan kepala Sekolah.
Korupsi di sekolah ini telah menjadi problem politik, dan dilakukan secara berjamaah dan sistemik. Sekolah kini menjadi sumber dana ilegal bagi pejabat.
Apakah korupsi pendidikan ini terjadi seiring meningkatnya anggaran pendidikan?
Anggaran pendidikan meningkat itu hanya klaim. Alokasi dana pendidikan, yang disebut-sebut meningkat menjadi 20% dari total APBN itu hanya merupakan anggaran hasil otak-atik, manipulasi. Mengapa? Karena angka 20% itu memasukkan komponen dinas anggaran dinas pendidikan. Jika hitungannya seperti itu, sudah sejak dahulu kala anggaran pendidikan mencapai 20%, bahkan lebih dari itu.
Jadi, pada dasarnya, jika dihitung lebih cermat, anggaran pendidikan yang benar-benar sampai untuk biaya penyelenggaraan pendidikan itu kecil. Parahnya, anggaran yang kecil itu pun masih saja dikorupsi. Akibatnya, pendidikan mahal dan tidak berkualitas.
Bagaimana peran Dinas Pendidikan dan badan pengawas internal lainnya?
Seperti saya sebutkan tadi, korupsi dilakukan secara berjamaah. Bisa dikatakan badan pengawasan internal mandul. Mereka bagian dari jamaah. Kita tidak bisa berharap banyak. Justru, pengawasan oleh orangtua guru dan orangtua.
Komite sekolah, masihkah diperlukan?
Tentu saja, tapi, perannya harus diperkuat. Komite sekolah akan berfungsi ketika ia memiliki kemampuan untuk mengawasi, menyusun, dan membaca anggaran. Komite juga harus kritis, jangan sampai dimanfaatkan oleh kepala sekolah.
Farodlilah