Korupsi Sulit Diberantas karena Dianggap Wajar [20/08/04]
Berbagai macam korupsi yang dilakukan para pejabat, baik legislatif maupun eksekutif, selalu sulit diselesaikan secara tuntas. Akhir-akhir ini, kasus korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar, hanya sebuah penyakit politik atau sesuatu yang sudah tidak ditabukan lagi.
Demikian diungkapkan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego ketika menjadi pembicara dalam seminar Sistem Politik yang Membangun Pemberantasan Korupsi, Kamis (19/8). Hadir pula sebagai pembicara, Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie dan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Romli Atmasasmita.
Indria mengatakan, kasus korupsi memang sudah tidak lagi diberitakan secara bisik-bisik. Hampir setiap hari, media massa memuat kasus korupsi dari mulai yang dilakukan oleh pejabat daerah sampai pejabat pusat. Dengan adanya pemberitaan itu, lanjut Indria, sifat korupsi yang semula dianggap peristiwa perorangan (individual corruption) menjadi sebuah sistem (systemic corruption) sehingga korupsi dipandang bukan sebuah penyimpangan.
Korupsi kini tidak terlalu mudah diungkap karena mengarah pada korupsi struktural, pejabat eksekutif dan legislatif saling bekerja sama menutupi kasus korupsi, jelas dia.
Bahkan, tambah Indria, banyaknya pemberitaan yang besar mengenai kasus-kasus korupsi tidak membuat pejabat yang menjadi tersangka korupsi jera atau malu. Tampaknya masih terlalu jauh kalau kita berharap pemberitaan yang besar bisa membuat pelaku korupsi malu atau jera, katanya.
Sementara Kwik Kian Gie mengungkapkan, saat ini tidak dapat dibedakan apakah sebuah kasus bisa dikatakan korupsi atau tidak karena banyaknya pelaku kasus korupsi yang dibebaskan oleh penegak hukum.
Tunggu presiden
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) masih menunggu jawaban Presiden Megawati Soekarnoputri soal kapan waktu pelantikan bagi para hakim ad hoc korupsi. Sebab, berbeda dengan pelantikan hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) yang dilantik langsung oleh MA, kini pengambilan sumpah hakim ad hoc korupsi harus dilakukan di depan presiden.
Mahkamah Agung sudah berkirim surat kepada presiden menanyakan hal ini, namun hingga kini belum ada jawaban dari Presiden Megawati Soekarnoputri, kata Ketua MA Bagir Manan.
Pendapat Bagir Manan ini kontras dengan pendapat yang pernah dilontarkan oleh Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo (Kompas, 29/7) seusai penerbitan Keppres Nomor 111/M Tahun 2004 tentang pengangkatan sembilan hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Bambang menyatakan bahwa pelantikan para hakim tersebut akan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Keppres Nomor 111/M Tahun 2004 berisi penetapan sembilan hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Dari sembilan hakim tersebut, tiga di antaranya menjadi hakim agung untuk Mahkamah Agung, yaitu MS Lumme, Hamrat Hamid, dan Krisna Harahap. Sementara hakim untuk Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ditetapkan HM As