Koruptor Akan Diborgol; Di Pengadilan Juga Akan Dikenakan Baju Khusus Koruptor
Untuk menumbuhkan efek jera dan rasa malu di kalangan aparat dan masyarakat karena melakukan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi berencana memborgol dan memberikan baju khusus bertuliskan ”Koruptor” untuk para koruptor yang sedang menjalani proses hukum.
Perkara korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap juga direncanakan akan dibeberkan di situs internet, lengkap dengan data, seperti nama terpidana, modus, kerugian negara yang ditimbulkan, berikut hukuman yang dijatuhkan.
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin, Kamis (7/8), mengatakan, berbagai langkah itu sudah dibicarakan dalam rapat pimpinan KPK. ”(Bajunya) masih kami desain. Diusahakan sesegera mungkin. Juga masih didiskusikan, (pemakaian baju dan pemborgolan dilakukan) saat tersangka atau terdakwa,” katanya.
Upaya yang direncanakan KPK itu, menurut Jasin, sudah dilakukan di sejumlah negara. Mantan Presiden Korea Selatan yang terlibat korupsi, misalnya, juga mengenakan baju tahanan.
Tersangka atau terdakwa koruptor yang tengah diproses KPK selama ini umumnya berpakaian necis, bahkan mewah, saat muncul di KPK atau diadili di pengadilan.
Budaya malu
Menurut Jasin, langkah untuk memborgol dan memberikan baju tahanan itu diambil karena, berdasarkan survei KPK pada Januari-Juni 2008, sebanyak 71,61 persen responden berpendapat, KPK tidak menciptakan budaya malu di kalangan aparat atau masyarakat agar jera melakukan korupsi.
Survei yang dilakukan di lima kota besar di Indonesia itu—Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, dan Makassar—melibatkan 2.191 responden yang minimal berpendidikan sekolah menengah atas.
Tidak adanya rasa malu ditambah dengan tidak adanya efek jera membuat korupsi terus terjadi meski sudah dilakukan sejumlah penindakan.
”Maka kami berpikir perlu dilakukan upaya untuk menimbulkan efek jera dan rasa malu itu,” kata Jasin.
Tidak melanggar HAM
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ridha Saleh berpendapat, tiga rencana KPK untuk para koruptor tersebut tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Bahkan sebaliknya, tindakan para koruptor itu yang melanggar hak orang lain karena menyebabkan rakyat jadi miskin dan negara jadi bangkrut.
”Langkah KPK itu pantas dikenakan, terutama untuk koruptor besar, baik dari pelakunya maupun kerugian negara yang ditimbulkan,” kata Ridha.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana menilai rencana KPK itu juga tidak melanggar asas praduga tidak bersalah jika baju yang dikenakan sesuai dengan status hukum para koruptor.
Baju untuk tersangka bertuliskan ”Tersangka Koruptor”, baju untuk terdakwa bertuliskan ”Terdakwa Koruptor”, dan baju untuk terpidana bertuliskan ”Terpidana Koruptor”.
”Saya bahkan amat mendukung upaya KPK itu. Sebab, tiadanya efek jera dan rasa malu menjadi masalah utama dalam pemberantasan korupsi saat ini,” ujar Denny.
Bahkan, kata Denny, upaya KPK tersebut perlu ditindaklanjuti dengan langkah lain, seperti pemberlakuan moratorium keringanan atau pengampunan hukuman, seperti grasi, amnesti, atau remisi untuk para terpidana korupsi.
”Presiden tidak dapat dituduh melanggar hukum jika menerapkan moratorium ini. Sebab, kebijakan itu merupakan hak prerogatif Presiden. Bahkan, penerapan moratorium ini dapat menguatkan citra pemerintah dalam memberantas korupsi,” katanya.
Sangat ringan
Moratorium ini juga dibutuhkan karena hukuman untuk para koruptor di Indonesia belum maksimal. Pukat UGM mencatat, dari 12 perkara yang telah diputus Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2008, rata-rata lama hukuman hanya 4,32 tahun.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch mencatat, dari 59 perkara yang diputus pengadilan yang sama pada 2005-2007, rata-rata hukumannya adalah 4,4 tahun. Jadi, ada gejala penurunan lama hukuman untuk para terpidana koruptor meski hal itu belum banyak.
”Dengan rata-rata lama hukuman 4,4 tahun penjara jika terpidana korupsi masih mendapat remisi dan lainnya, mereka mungkin hanya cukup tiga tahun di penjara, bahkan kurang. Ini tidak baik untuk menumbuhkan efek jera,” ujar Denny.
Sosiolog dari Universitas Airlangga, Daniel Sparringa, juga melihat bahwa hukuman untuk para koruptor di Indonesia masih amat ringan.
Dengan demikian, rencana KPK untuk memborgol dan mengenakan baju khusus bagi para koruptor itu akan lebih efektif menimbulkan efek jera dan rasa malu di masyarakat untuk korupsi jika disertai dengan menambah berat hukuman untuk para koruptor.
”Upaya itu akan lebih efektif lagi jika ditambah dengan menumbuhkan stigma negatif di masyarakat terhadap para koruptor,” kata Daniel menambahkan.
Jika pemborgolan dan pengenaan baju khusus ini tidak disertai dengan menambah berat hukuman atau menumbuhkan stigma untuk para koruptor, Daniel khawatir rencana KPK itu justru akan menumbuhkan sinisme baru di masyarakat dalam upaya memberantas korupsi.
”Masyarakat dapat melihat, pemborgolan atau pengenaan baju khusus itu hanya bagian dari sandiwara jika hukuman yang diterima ternyata tidak berat. Ini yang harus dihindari,” kata Daniel. (NWO)
Sumber: Kompas, 8 Agustus 2008