Koruptor Tunggu Aturan Jelas; Tertarik dengan Tawaran Pengampunan Jaksa Agung
Pengacara kasus korupsi menyambut positif tawaran hak oportunitas (pengampunan) jaksa agung. Mereka ingin memanfaatkannya, tapi menunggu aturan yang jelas.
Saya kira perlu sosialisasi lebih luas. Pelaku korupsi tidak begitu saja mau bekerja sama dengan aparat tanpa kepastian hukum, jelas pengacara spesialis kasus korupsi L.L.M. Samosir.
Dia pernah menangani sederet pelaku korupsi. Mulai kasus pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun (Adrian Herling Waworuntu), kredit macet Bank Mandiri Rp 1 triliun (E.C.W. Neloe cs), hingga korupsi BLBI (tiga mantan direktur BI). Juga pernah menjadi pengacara kasus BLBI Bank Servitia (David Nusawijaya) yang melarikan diri ke luar negeri.
Menurut Samosir, sosialisasi mekanisme pengampunan koruptor insaf diperlukan agar kelak masyarakat tidak mempermasalahkan. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa pengampunan itu demi kepentingan yang lebih besar.
Prinsipnya seperti seorang menteri yang melanggar peraturan lalu lintas, bisa diabaikan tanpa proses hukum. Sebab, jika ditilang, itu akan mengganggu aktivitasnya yang terkait kepentingan umum, bebernya.
Samosir memahami ide pengampunan yang dilontarkan jaksa agung tersebut. Tanpa bertemu jaksa agung pun, kita sudah tahu konsep itu. Kita juga tahu, dasar hukumnya adalah penggunaan hak oportunitas yang diatur dalam UU Kejaksaan, ungkapnya.
Apakah ada kliennya yang berniat insaf dan bersedia bekerja sama dengan kejaksaan? Samosir mengaku belum. Dia menunggu sosialisasi kejaksaan. Juga perlu mempelajari penilaian jaksa agung atas kriteria pelaku korupsi yang perkaranya bakal dideponir tersebut.
Namun, dia memastikan, jika ada ketentuan teknis dan kepastian hukum, banyak pelaku korupsi yang memanfaatkan hak oportunitas tersebut. Ya, seperti klien saya, David Nusawijaya. Apakah dia juga dapat diampuni kalau kasusnya sudah diputus dan akan mengembalikan uang negara, ujar pengacara berkulit gelap itu.
Pengacara lainnya, Juan Felix Tampubolon, mengamini pernyataan koleganya itu. Menurut dia, jaksa agung perlu menyosialisasikan mekanisme pengampunan terhadap pelaku korupsi yang siap bekerja sama dengan aparat. Jangan sampai mereka kebingungan, katanya.
Juan Felix juga populer sebagai pengacara kasus korupsi. Dia, antara lain, menangani perkara mantan Presiden Soeharto, korupsi pembelian helikopter oleh Gubernur (nonaktif) NAD Abdullah Puteh, dan korupsi Bank Global Irawan Salim.
Menurut Juan Felix, penggunaan hak oportunitas harus selektif. Tidak semua koruptor bisa diampuni kecuali nilai kerugian kasusnya benar-benar besar.
Pembatasan diperlukan karena pengampunan mengacu didasari tekad untuk mengembalikan kerugian negara. Artinya, jaksa agung harus memastikan bahwa penggunaan hak itu dapat membuka peluang pengembalian uang negara yang dikorupsi.
Lebih jauh, Juan Felix menegaskan, tidak tertutup kemungkinan kliennya memanfaatkan hak tersebut untuk kembali ke tanah air. Saya kira perlu dicoba kalau memang ada peluang (untuk dideponir kasusnya), kata pengacara yang hobi sepak bola itu.
Maqdir Ismail, pengacara kasus korupsi BLBI Bank BDNI (Bank Dagang Negara Indonesia) yang melibatkan Sjamsul Nursalim, berpendapat sama. Yang dialami Sjamsul Nursalim, misalnya. Beliau belum mau pulang ke Indonesia karena tidak ada kepastian hukum dan khawatir kasusnya dibuka lagi, jelas Maqdir yang dihubungi secara terpisah.
Menurut dia, Sjamsul sejatinya sudah melaksanakan berbagai kewajiban penyelesaian utangnya di BPPN. Misalnya, menyerahkan sejumlah aset lewat program MSAA. Ketika ada ide pengampunan koruptor insaf, bos Gadjah Tunggal itu sama sekali tidak merasa surprise. Dia malah khawatir perkara korupsinya kelak dibuka lagi.
Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung R.J. Soehandoyo menyatakan, penggunaan hak oportunitas dalam kasus korupsi perlu dikaji mendalam. Selain perlu sosialisasi lebih luas kepada masyarakat, pelaksanaannya bakal melibatkan instansi lain di luar kejaksaan. Seperti Mahkamah Agung, Departemen Kehakiman, Departemen Luar Negeri, dan sejumlah instansi terkait penegakan hukum.
Ini cukup rumit. Apalagi, selama saya jadi jaksa, hak tersebut belum pernah dipergunakan dalam kasus apa pun, beber Soehandoyo di Gedung Kejagung Jakarta kemarin. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 9 Agustus 2005