Koruptor Uang Tentara Masuk Penjara 6 Tahun; Rumah Mantan KSAD Hartono Kembali ke Negara

Henry Leo akhirnya dihukum bersalah. Pengusaha yang menjadi rekanan Departemen Pertahanan (Dephan) itu dihukum enam tahun setelah terbukti melakukan korupsi dalam kasus penyalahgunaan dana PT Asuransi ABRI (Asabri) Rp 410 miliar. Hukuman itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang dikoordinasi Pribadi Soewandi selama tujuh tahun.

Henry Leo akhirnya dihukum bersalah. Pengusaha yang menjadi rekanan Departemen Pertahanan (Dephan) itu dihukum enam tahun setelah terbukti melakukan korupsi dalam kasus penyalahgunaan dana PT Asuransi ABRI (Asabri) Rp 410 miliar. Hukuman itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang dikoordinasi Pribadi Soewandi selama tujuh tahun.

Henry juga dihukum membayar denda Rp 30 juta subsider kurungan enam bulan. Suami Iyul Sulinah itu pun dijatuhi hukuman uang pengganti Rp 70,9 miliar dipotong aset Asabri yang disita negara.

Nilai uang pengganti setara dengan nilai kerugian negara yang ditimbulkan perbuatan terdakwa (Henry Leo), kata majelis hakim yang diketuai Sarpin Risaldi dalam persidangan di PN Jakarta Timur kemarin (6/5).

Dalam putusan majelis hakim, semua aset terkait Asabri diserahkan kepada negara. Termasuk rumah di Jalan Suwiryo, Menteng, Jakarta Pusat, seharga Rp 2,3 miliar -yang sertifikatnya atas nama mantan KSAD Jenderal (pur) R Hartono. Sedang sertifikat Plaza Mutiara diserahkan kepada pemiliknya, PT Permata Birama Sakti (PBS), jelas Sarpin.

Menurut Sarpin, Henry bersalah turut serta dalam tindak pidana korupsi dana Asabri. Kasus itu berawal ketika Henry bekerja sama dengan Mayjen (pur) Subarda Midjaja semasa menjabat Dirut Asabri pada 1995-1997. Terdakwa dianggap turut serta dalam membobol dana prajurit yang disimpan di Asabri senilai Rp 410 miliar, jelas Sarpin yang didampingi dua hakim anggota. Subarda sebelumnya divonis lima tahun dan harus membayar uang pengganti Rp 34 miliar.

Sarpin membeber, kasus itu berawal saat Subarda menyerahkan bilyet giro bernilai miliaran rupiah kepada Henry. Dia lantas mengubahnya dalam bentuk deposito dan menjadikannya sebagai jaminan kredit untuk mengucurkan kredit Rp 368,94 miliar. Mereka lantas sepakat mendirikan perusahaan dengan komposisi 50 persen saham Henry dan 50 persen saham untuk Subarda, jelas mantan kepala PN Bangkinang Kepulauan Riau ini.

Menurut Sarpin, untuk menutupi aksinya, Henry setiap bulan mentransfer dana ke rekening Asabri seolah-olah sebagai bunga deposito. Dana tersebut dibelikan macam-macam keperluan, seperti membeli tanah di Bekasi Rp 15 miliar, membeli rumah di Jalan Suwiryo Menteng, dan juga uang muka pembelian Plaza Mutiara USD 13 juta.
Dalam putusannya, majelis mempertimbangkan fakta memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan, perbuatan Henry tidak mendukung pemberantasan korupsi dan menimbulkan kerugian yang besar. Sedang pertimbangan meringankan, terdakwa belum pernah hukum, sopan dalam persidangan, dan mengakui perbuatannya, jelas Sarpin.

Atas putusan tersebut, Henry tampak tenang. Pria yang mengenakan batik itu hanya tersenyum seraya memastikan mengajukan banding. Saya banding, majelis, ujar Henry.

Seusai sidang, Henry tampak berangkulan dengan istri, Iyul, dan dua putrinya yang masih remaja. Mereka tampak terpukul. Mereka lantas menuju kantin pengadilan untuk makan siang bersama. Henry kepada wartawan lagi-lagi mengungkapkan kekecewaannya. Dia lantas menunjuk pengembalian sertifikat Plaza Mutiara kepada PT PBS. Saya akan ungkapkan kekecewaan saya dalam (memori) banding saya nanti, ujar Henry.

Sedang pengacara Henry, Albab J. Setiawan, menyesalkan pertimbangan majelis yang tidak memasukkan langkah kliennya yang bersikap kooperatif sekaligus melaporkan pengembangan kasus korupsi lain dalam kasus Asabri. (agm/tof)

Sumber: Jawa Pos, 7 Mei 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan