KPK, Bunga dan Tembok
“Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tidak kau kehendaki tumbuh...
Seumpama bunga, kami adalah bunga yang dirontokkan dari bumi kami sendiri...”
(Widji Thukul, 1987-1988)
Widji Thukul mungkin tak pernah tahu apa itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apalagi kenal Nazaruddin, Anggodo, Gayus, dan lain-lain. Tapi, apa yang ditulisnya dalam kosmos tirani kekuasaan orde baru agaknya bisa menginspirasi kita tentang bagaimana posisi lembaga-lembaga produk reformasi, seperti KPK hari ini.
Seperti “bunga” dalam makna sebagai sesuatu yang mengganggu kemapanan kekuasaan korup, sekaligus perlambangan “korban otoritarian”. Sehingga memang keberadaannya tidak dikehendaki. Akan tetapi, ia sekaligus adalah harapan untuk menghancurkan tirani yang disimbolisasikan dengan “tembok”. “Suatu saat kami akan tumbuh bersama, dengan keyakinan: engkau harus hancur!”.
KPK adalah “bunga” itu. Diharapkan oleh publik dalam tingkat dukungan yang sangat tinggi, sekaligus tidak dikehendaki oleh kekuasaan yang masih dibiayai oleh korupsi. Dan karena itulah, KPK juga harus dibebaskan dari setiap “hama” yang mungkin akan mengurangi makna perlawanan dan tujuan pembentukan KPK itu sendiri. Kita tidak bisa bayangkan jika justru pimpinan KPK, penyidik, penuntut atau pegawai KPK yang melakukan korupsi. Yang dalam perspektif kriminologi seringkali disebut sebagai kejahatan yang sempurna. Tepatnya ketika kewenangan dan hukum itu sendiri justru digunakan untuk melakukan kejahatan (law as tool of crime) (Nitibaskara, 2009:40). Di titik inilah, informasi yang disampaikan oleh Nazaruddin, betapapun kita yakin ia tidak sepenuhnya benar, perlu diklarifikasi dan dicari kebenarannya.
Pembubaran KPK
Tersangka kasus korupsi dan buron KPK ini melalui berbagai sarana elektronik menuding langsung dan memperlihatkan ketidaksenangannya pada KPK. Melalui pesan pendek pada sejumlah wartawan ia mengatakan sering bertemu dengan pimpinan KPK, deputi penindakan dan penyidik KPK. Bahkan, dikatakan juga ia sudah memberikan uang untuk KPK. Kita tercengang. Jika itu benar, tak ada kata yang sanggup mewakilkan praktek pengkhianatan seperti ini. Tapi, hati-hati. Bukan karena hanya Nazaruddin sangat mungkin bohong, akan tetapi hal seperti ini bisa saja terjadi dalam hampir semua kasus yang ditangani KPK. Seperti: keterangan dari orang-orang yang terlibat perkara bahwa di KPK ada mafia.
Akan tetapi, tentu tudingan Nazaruddin perlu ditempatkan sebagai informasi yang penting ditelusuri lebih dalam. Seperti pertemuan-pertemuan yang diklaim dan diakui juga oleh pimpinan KPK terjadi beberapa kali di beberapa tempat. Baik itu pertemuan dengan Chandra M. Hamzah, Ade Rahardja ataupun unsur lainnya. Pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pertemuan tersebut perlu dimintai keterangan, agar kita bisa mengetahui substansi pembicaraan dalam sejumlah pertemuan tersebut. Bukan tidak mungkin memang ada/tidak ada pelanggaran etik terkait dengan pertemuan itu. Semua harus didasarkan pada norma dalam Pasal 36 UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK dan Keputusan Pimpinan KPK No. Kep-06/P.KPK/02/2004 tentang Kode Etik Pimpinan KPK yang menyebutkan secara rinci 22 kewajiban dan 4 larangan bagi pimpinan KPK.
Terdapat pengaturan: pimpinan KPK dilarang melakukan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara korupsi yang sedang ditangani oleh KPK dengan alasan apapun. Ada juga kewajiban untuk membatasi pertemuan di hotel, restoran atau ruang publik lainnya. Bahkan pimpinan KPK dilarang main golf dengan pihak yang bisa menimbulkan perbenturan kepentingan sekecil apapun.
Akan tetapi, kita harus hati-hati dengan jebakan logika Nazaruddin, bahwa jika pertemuan terbukti benar, maka semua yang dikatakannya adalah benar. Termasuk tuduhan ia sudah memberikan uang pada pimpinan KPK melalui penyidik. Kemungkinan publik “terjebak” dalam skenario logika Nazaruddin sangat besar, apalagi hal ini diperparah dengan pembentukan wacana oleh kelompok koruptor, seolah-olah KPK memang sudah sangat bermasalah.
Entah bagian dari kelompok tersebut, atau tidak, kita juga terkejut dengan pernyataan Ketua DPR yang mengatakan, bahwa KPK harus dibubarkan. Terutama karena orang-orang di lembaga ini sangat bermasalah. Ia merinci sejumlah kasus, termasuk fenomena “cicak vs buaya” dan nyanyian Nazaruddin. Seolah-olah pimpinan KPK memang sudah bermasalah sejak awal. Logika ini amnesia dengan bukti sejarah. Karena yang kita tahu, saat itu justru pimpinan KPK yang dikriminalisasi dan kasusnya direkayasa, salah satunya terkait dengan upaya untuk menyelamatkan seorang tersangka dan buron KPK, Anggoro Widjoyo. Fakta persidangan di Mahkamah Konstitusi, Temuan Tim 8, dan persidangan Anggodo di Pengadilan Tipikor yang sudah inkracht menyatakan menguatkan dugaan bahwa rekayasa hukum dan corruptors fight back memang terjadi. KPK diserang, dengan skenario besar, pembubaran KPK.
Saat ini, suara yang sama muncul kembali. Wajar kita bertanya, apakah Ketua DPR-RI yang berasal dari Partai Demokrat ini berada dalam barisan corruptors fight back, atau bagaimana? Karena, akal sehat kita mengatakan, kalaupun ada yang bermasalah di KPK, itupun harus melalui pemeriksaan dan bukan hanya didasarkan atas tudingan dan fitnah, maka ia harus disingkirkan. Karena ia layaknya “hama” yang menggerogoti eksistensi kelembagaan KPK. Salah kaprah jika kemudian KPK nya yang harus dibubarkan. Dan, publik diharapkan lebih sensitif untuk melawan skenario yang sangat halus pelumpuhan dan pembubaran KPK.
oleh: Febri Diansyah, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW
Tulisan ini disalin dari Majalah Gatra, Edisi 4-10 Agustus 2011