KPK dan Asas Retroaktif
Baru-baru ini publik dikacaukan dengan pendapat para pengamat tentang persoalan penggunaan asas retroaktif dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi yang dilakukan KPK. Hal ini dipicu putusan judicial review terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagian pengamat menyatakan, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya berwewenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara sebelum Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dibentuk, seyogianya diikuti KPK karena UU KPK No 30/2002 sama sekali tidak mengatur asas retroaktif. Di pihak lain, para ahli hukum berpendapat, pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam setiap putusannya tidak mengikat secara umum sehingga tidak perlu diikuti KPK.
Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan sendiri berpendapat, penerapan asas retroaktif dalam UU No 30/2002 tentang KPK dimungkinkan demi keadilan, namun penerapan asas itu harus dicantumkan dalam undang-undang laiknya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Penerapan asas retroaktif
Dari sisi pengetahuan hukum, pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami sepanjang diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif sifatnya, artinya apabila negara dalam keadaan darurat (abnormal) dengan prinsip-prinsip hukum darurat (abnormaal recht), karena itu penempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang amat limit, dengan tetap memerhatikan prinsip-prinsip hukum universal sehingga tidak terkontaminasi unsur-unsur yang dapat dikategorikan abuse of power.
Semangat untuk memberlakukan eksistensi asas retroaktif kini bisa dianggap sebagai kemunduran jika dikaitkan dengan asas lex tallionis sebagai sumber primaritas, tetapi semangat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi bagi pelaku yang telah menikmati hasil korupsi di masa lalu bukan sebagai semangat tallionis, tetapi merupakan tindakan pemulihan dan penyelamatan harta kekayaan negara yang telah diselewengkan pelaku korupsi yang tidak bertanggung jawab. Pemberlakuan asas retroaktif untuk kejahatan korupsi yang kami anggap sebagai kejahatan terhadap masyarakat (crimes against society) adalah suatu hal dimungkinkan selain dapat mematahkan upaya-upaya impunity, juga agar dapat menyelesaikan secara tuntas dan adil tiap kejahatan korupsi yang telah menyengsarakan masyarakat.
Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta kekayaan negara yang hilang.
Apalagi kejahatan korupsi juga merupakan masalah yang muncul sebagai burning issues yang berdimensi luas yang selain dapat merusak tatanan hidup masyarakat, juga dijadikan isu-isu untuk merongrong kewibawaan pemerintah dan alat penegak hukum. Selain itu, aneka perbuatan korupsi masa lalu sering baru dapat diketahui dan ditemukan indikasinya di masa sekarang sehingga pembatasan kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi masa lalu sulit diterima.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi jelas bukan amar putusan (diktum) yang mengikat umum sehingga tidak mempunyai konsekuensi hukum apa pun jika diikuti atau tidak diikuti. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi hanya dapat dijadikan referensi bagi praktisi dan penegak hukum, termasuk para hakim untuk membuat putusan, tetapi bukan sebuah diktum yang mengikat umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi sesuai asas-asas peradilan yang berlaku umum hanya akan memutus apa yang diminta para pemohon untuk diputus sesuai dengan ketentuan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Persoalan penggunaan asas retroaktif ini akan menjadi semakin sulit apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materiil terhadap UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menurut para pemohonnya bertentangan dengan Pasal 28i Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 karena memberlakukan asas retroaktif. Apabila ini terjadi berarti Mahkamah Konstitusi telah berpendirian, asas legalitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHPidana Noellun Delictum, Noella Poena Sine Praevia Lega Poenali sama sekali tidak dapat disimpangi tuntutan keadilan masyarakat.
UU KPK perlu direvisi?
Sebagaimana dinyatakan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, pengaturan asas retroaktif seharusnya diatur dalam UU No 30/2002 tentang KPK, khususnya yang menyangkut asas retroaktif, sehingga KPK memiliki kewenangan jelas dan nyata untuk menangani kasus-kasus korupsi masa lalu.
Jika kita memakai konstruksi berpikir ilmu hukum, Pengadilan Khusus Korupsi yang diwadahi UU KPK tentu tidak dapat memeriksa kejahatan korupsi yang terjadi sebelum pengadilan terbentuk. Namun, konstruksi berpikir itu tidak dapat dipakai dalam persoalan ini karena persoalan korupsi tak mengenal ruang dan waktu seperti layaknya persoalan HAM yang diatur dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Perbuatan atau kejahatan korupsi masa lalu memiliki akibat yang dirasakan hingga kini sehingga menurut hemat kami KPK sebagai komisi satu-satunya pemberantasan korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi masa lalu. Sementara itu, Pengadilan Korupsi meski baru terbentuk merupakan perpanjangan atau sarana untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK.
Meski demikian, argumen kami tidak baku, karena itu sudah selayaknya UU KPK direvisi. Apabila Pengadilan Khusus Korupsi sudah berjalan, eksistensi pengadilan ini tentu akan dipersoalkan masyarakat karena dianggap tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara korupsi masa lalu. Sejak KPKPN melakukan uji materiil terhadap UU KPK dulu, kami merasakan adanya ketimpangan dalam kebijakan instrumental pembuat undang- undang KPK yang kesannya tergesa-gesa dan tidak fokus pada penegakan hukum korupsi secara jernih dan terpadu. Akibatnya, banyak hal yang dilupakan, termasuk mengenai pengaturan asas retroaktif sebagaimana yang dipersoalkan sekarang ini.
Dalam UU No 30/2002 tentang KPK, Pasal 9 dan Pasal 68 UU KPK hanya menyatakan KPK berwenang melanjutkan atau mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi yang belum selesai dilakukan lembaga penegak hukum lain, tetapi tidak ada ketentuan yang menyatakan KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk perkara korupsi masa lalu. Karena itu, menjadi wajar bila Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat bahwa seyogianya KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi masa lalu mengingat keberadaan Pasal 28i Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, UU KPK perlu direvisi dengan memasukkan asas retroaktif di dalamnya sehingga tidak ada keraguan bagi KPK untuk bertugas mencegah dan memberantas korupsi tanpa harus dibatasi ruang dan waktu.
Semangat pemberantasan korupsi merupakan semangat yang dikembangkan berdasar pikiran bahwa kondisi bangsa kita sedang dalam keadaan darurat korupsi sehingga penggunaan asas retroaktif dimungkinkan selain tuntutan keadilan juga merupakan tuntutan negara yang sudah berusaha menyelamatkan keuangan negara yang hilang.
Karena itu, setiap prasarana dan sarana pemberantasan korupsi harus diberi dukungan sepenuhnya, termasuk kewenangan KPK untuk terus bekerja menangani kasus-kasus korupsi tanpa dibatasi ruang dan waktu.(Amir Syamsuddin Praktisi Hukum Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 24 Februari 2005